Ads

Thursday, August 30, 2018

Raja Pedang Jilid 020

Kita tunda dulu perjalanan Hoa-san Sie-eng yang hendak menjumpai Kun-lun Sam-hengte itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti telah dituturkan di bagian depan.

Sambil tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya. Kwa Hong merasa betapa tubuhnya melayang-layang kedua kakinya tidak menginjak tanah biarpun kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut, akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main di sebuah telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga.

Kemudian ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu tidak berdusta. Tak lama kemudian tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat indah, telaga kecil yang pinggirnya penuh ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna.

Diatas pohon-pohon banyak burung menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, sedangkan di dalam air telaga yang penuh bayangan bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuat Kwa Hong lupa akan kekhawatirannya bahwa, ia telah berpisah dari ayahnya.

“Bagus sekali….. nyaman sekali tempat ini…..” ia berkata.

“Bagus, ya? Aku pun senang bermain-main disini,” kata Koai Atong berjingkrak-jingkrak. “Hayo kita main kejar-kejaran, kau boleh kejar aku, tapi yang dikejar tidak boleh pergi dari sekitar telaga ini!”

Kwa Hong seorang anak yang cerdik. Tadi ia sudah digandeng Koai Atong yang mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa sekali. Sebagai seorang anak pendekar, tentu saja dia mengerti bahwa orang aneh ini memiliki kepandaian ilmu lari cepat yang tinggi, mana bisa dia mampu mengejarnya? la tertawa dan, berkata nakal.

“Koai Atong, kau mau mengakali aku? Ihhh, apa kau kira aku ini sebodoh orang lain? Dari pada kau mencoba mengakali aku, lebih baik, kau mengajarkan ilmu lari cepat tadi kepadaku.”

“Ilmu lari cepat? Apa itu? Aku tidak bisa….. aku tidak boleh mengajarkan apa-apa…..” cepat-cepat Koai Atong berkata dengan muka ketakutan ketika mendengar Kwa Hong minta diajari ilmu lari cepat. “Lebih baik kau minta yang lain….. eh, kau mau burung itu? Katakan yang mana kau sukai, aku akan menangkapnya untukmu….!”

la tertawa-tawa sambil menunjuk ke atas, ke arah burung-burung yang berloncatan di cabang-cabang pohon.

“Yang kecil sekali itu, yang berbulu kuning!”

Kwa Hong menunjuk ke arah seekor burung yang paling lincah dan gesit diantara burung-burung yang lain. Bukannya karena dia suka kepada burung kecil ini, melainkan karena anak yang cerdik ini memang sengaja memilih burung yang paling gesit supaya Koai Atong tidak dapat menangkapnya.

“Baik, kau lihat, dia takkan bisa lari dariku.”

Koai Atong lalu mengenjot tubuhnya yang tinggi besar itu, melayang ke arah puncak pohon. Semua burung buyar pergi beterbangan karena takut, termasuk burung kecil yang sudah terbang lebih dulu dengan amat cepatnya.

Kwa Hong sudah hampir bersorak mengejek kegagalan Koai Atong akan tetapi tiba-tiba Koai Atong tertawa keras dan tangan kirinya digerak-gerakkan ke depan. Aneh sekali, tiba-tiba burung kuning kecil itu seperti ditarik benang yang diikatkan pada kakinya karena binatang ini terbang kembali ke arah Koai Atong dengan gerakan lemah!

Dengan enak dan mudahnya orang aneh itu menangkap burung kuning tadi lalu meloncat turun, menyodorkan burung kuning itu kepada Kwa Hong. Hebatnya burung itu berdiri di atas telapak tangannya, diam saja hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat terbang pergi!

Menghadapi pertunjukkan ilmu tinggi yang seperti main sulap ini, Kwa Hong sampai melongo. Akan tetapi dasar dia cerdik, dia tidak mau memperlihatkan keheranannya, malah tertawa-tawa dan mengambil burung itu yang berdiri di telapak tangan Koai Atong.

la mengira bahwa burung itu memang sudah tak dapat terbang lagi, maka ia memegang perlahan sekali. Siapa kira, begitu terlepas dari telapak tangan Koai Atong dan berada dalam genggaman Kwa Hong, burung itu meronta dan….. brrttt….. burung itu terbang pergi, cepat sekali!

Koai Atong tertawa terbahak-bahak. Kwa Hong merengut.
“Koai Atong, kau telah menipuku! Di tanganmu burung itu tidak bisa terbang, kenapa setelah kugenggam dia lalu terbang?”





“Ha-ha-ha-ha-ha, mana bisa burung terbang tanpa pancatan kaki? Telapak tangan yang dibikin lunak, disertai hawa menyedot, tentu membikin dia tak mampu terbang, apa anehnya…..? Ha-ha-ha!”

“Ah, kau nakal! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?” Kwa Hong cemberut dan marah-marah.

Melihat temannya marah-marah, Koai Atong cepat berkata,
“Sudahlah, biar kutangkapkan lagi dia untukmu…..” la sudah bangkit berdiri, akan tetapi Kwa Hong berkata.

“Tidak, aku sudah tak suka lagi. Tak suka main-main denganmu, aku hendak kembali kepada ayah.”

“Waaah, jangan marah. Belum puas kita bermain-main disini. Mari kita pergi ke tempat lain yang lebih indah. Ke puncak gunung bermain dengan awan? Atau ke dalam hutan yang penuh binatang buas? Aku tahu banyak tempat indah…..”

“Tidak,” jawab Kwa Hong yang mendapatkan pikiran untuk pergi meninggalkan orang ini.

la mulai mendapat perasaan tak enak, takut kalau-kalau si gila ini tak mau melepaskannya kembali.

“Kalau kau bisa mencarikan ikan bersisik kuning, emas dari telaga ini, baru aku mau main-main lagi.”

Koai Atong memandang ke arah telaga. Banyak ikan-ikan kecil besar berloncatan, kadang-kadang keluar jauh dari permukaan air, akan tetapi tidak ada yang bersisik kuning eirias, kesemuanya putih atau hitam.

“Mana ada ikan bersisik kuning emas?” tanyanya ketolol-tololan.

“Tentu saja ada, di dalam telaga. Ataukah barangkali kau tidak becus menangkapnya? Kalau kau tidak becus, kau tidak berharga menjadi temanku bermain-main.”

Koai Atong nampak gugup.
“Baik, baik….. akan kutangkapkan untukrnu. Kau tunggu dan lihatlah.”

Tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu berkelebat ke arah telaga dan….. byurrr! Koai Atong telah terjun ke dalam air itu! Wajah Kwa Hong berubah. Celaka, kiranya dia pun setan air yang pandai bermain di air. Inilah kesempatan baik, aku harus pergi meninggalkan tempat ini. Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, timbul perasaan malu dan kasihan di hatinya. Malu kepada diri sendiri yang seakan-akan hendak menipu Koai Atong dan kasihan kepada si gila itu.

Dia amat baik kepadaku, sampai-sampai mau menyelami telaga untuk mencarikan ikan, masa aku begitu rendah hati untuk menipu dan meninggalkannya? Kwa Hong ragu-ragu. Anak ini sudah banyak dijejali filsafat tentang kebajikan dan terutama tentang kegagahan dan keadilan oleh ayahnya, maka dia menjadi ragu-ragu untuk meninggalkan Koai Atong yang sengaja dia suruh menyelam di telaga.

Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang,
“Nah, ini dia anak Hoa-san It-kiam!”

Dan muncullah seorang laki-laki yang membuat Kwa Hong menjadi pucat rnukanya karena mengenal orang ini sebagai orang yang telah menculiknya. Lalu muncul dua orang lain yang berpakaian sebagai pendeta-pendeta Agama To (tosu), akan tetapi tidak seperti para tosu biasanya, di atas rambut mereka terdapat hiasan bunga teratai.

“Mana bocah nakal yang gila itu?” tanya seorang diantara dua orang tosu tadi sambil memandang ke kanan kiri.

“Susiok berdua menjaga kalau dia muncul, biar teecu melarikan anak ini lebih dulu!” kata si penculik itu sambil menubruk Kwa Hong.

“Koai Atong, lekas keluar….! Tolong aku…..!”

Kwa Hong berteriak-teriak sambil loncat mengelak dan lari mendekati telaga. Penculik itu sambil tertawa lebar mengejar.

“Hendak lari kemana kau?”

Tiba-tiba muncul kepala Koai Atong dari permukaan air dengan kedua tangan memegang dua ekor ikan. Melihat Kwa Hong dikejar orang, kedua tangannya bergerak dan dua ekor ikan itu dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah penculik yang tak keburu mengelak lagi.

“Aduh….., auuuwww…. aaaapppp”

Ikan pertama dengan tepat mengenai hidungnya dan entah karena kesakitan, ikan itu membuka mulut dan….. menggigit hidung si penculik dan ketika si penculik mengaduh-aduh, ikan ke dua melayang tepat ke….. mulutnya yang celangap, terus masuk sampai ke kerongkongannya. Tentu saja dia menjadi kebingungan seperti kakek kebakaran jenggotnya.

Dengan susah payah dia dapat melepaskan ikan yang menggigit hidungnya dan menarik keluar ikan ke dua dari tenggorokannya. Hidungnya berdarah dan si penculik menyumpah-nyumpah, apalagi ketika melihat Kwa Hong tertawa cekikikan menyaksikan pemandangan yang lucu itu.

Akan tetapi melihat Koai Atong sudah meloncat naik dan kini orang aneh itu tertawa berdiri di dekat Kwa Hong, si penculik tidak berani maju lagi dan malah berlari ke belakang dua orang tosu yang menjadi susioknya (paman gurunya).

Dua orang tosu itu melangkah maju menghadapi Koai Atong.
“Koai Atong,” kata seorang diantara mereka yang mempunyai andeng-andeng (tahi lalat) besar di pipi kanannya, “Harap kau jangan ikut campur dan berikan anak ini, kepada kami.”

Koai Atong masih tertawa-tawa dengan Kwa Hong sama sekali tidak mau melayani dua orang tosu itu. Akan tetapi Kwa Hong yang maklum bahwa dua orang tosu itupun tidak mempunyai maksud baik, agaknya teman dari si penculik tadi, segera berkata,

“Koai Atong, jangan dengarkan mereka. Ganyang saja!”

Koai Atong tertawa lagi dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang basah kuyup itu. Air dari pakaiannya memercik-mercik dan menyambar ke arah dua orang tosu itu. Tak dapat dicegah lagi pakaian tosu itu pun terkena air, malah muka mereka menjadi basah dan terasa Sakit, karena sambaran titik-titik air itu terasa seperti jarum-jarum menusuk kulit. Mereka menjadi marah dan membentak.

“Orang gila, kau mencari mampus?”

Serentak kedua tosu itu mencabut keluar ikat pinggang mereka yang ternyata merupakan joan-pian (cambuk lemas) berduri, nampaknya menakutkan sekali.

Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa saja dan begitu kedua orang itu menyerang, dia telah memegang anak panahnya yang berujung kehijauan. Entah dari mana dia mengeluarkan senjatanya ini.

Terdengar suara keras dan dua orang tosu itu mengeluarkan seruan tertahan karena joan-pian mereka yang diserangkan tadi bertemu dengan anak panah membuat tangan mereka tergetar. Namun karena mereka percaya akan kepandaian sendiri, apalagi karena mereka maju berdua, dua orang tosu ini tidak gentar dan segera mengurung, menghujankan sambaran joan-pian ke arah tubuh Koai Atong.

Orang aneh ini menggerakkan anak panahnya sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang dia menggerakkan tubuhnya mengirim titik-titik air menyambar ke arah kedua orang lawannya.

Kwa Hong bertepuk tangan memberi hati kepada temannya.
“Hayo, Koai Atong. Gasak mereka sikat saja”








No comments:

Post a Comment