Ads

Monday, August 27, 2018

Raja Pedang Jilid 004

Benar saja, ia merasa agak hangat badannya dan perasaan ini demikian nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus kulit ular. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang kepadanya itu adalah wajar. Pertama, karena hawa pukulan Jing tok ciang itu mulai menghilang, bercampur dengan hawa thai yang, kedua kalinya secara kebetulan sekali pada kulit ular itu terdapat hawa beracun dari ular yang berganti kulit, dan hawa beracun ini mengandung hawa panas pula.

Itulah sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar daripada bahaya maut, malah sebaliknya ia mendapatkan keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa mujijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali.

Satu-satunya hal yang sampai pada saat itu masih sering kali ganti berganti menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit mukanya menjadi merah seperti udang direbus, akan tetapi tiap kali hawa dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.

Kita kembali kepada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa Hong setelah mendapat kenyataan bahwa apa yang disangkanya siluman ular itu ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit daripada dirinya sendiri.

Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya ? ia dikatakan menggigil kakinya seperti orang sakit, tapi masih berlagak gagah. Yang menggemaskan kata-kata itu memang betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya tidak akan takut kalau mengira bertemu dengan siluman?

“Setan cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang? Kalau tidak mengira kau siluman, mana aku takut kepada orang semacam engkau?”

Kwa Hong membentak, cemberut. Dengan sikap menunjukkan bahwa kini ia sama sekali tidak takut lagi. Kwa Hong menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung lalu menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang.

Melihat sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Ben San tertawa cekikikan dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.

“Eh, kenapa kau tertawa-tawa?”

Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan.

Beng San tidak menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras. Biasanya ia melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, sekarang melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.

“Hei, kepala keledai, kenapa kau cekikikan?” Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju.

Dengan mulut masih terenyum lebar Beng San balas bertanya,
“Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri, kenapa kau ribut-ribut?” dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras.

Kwa Hong terpukul dan makin mendongkol.
“Kau kira mukamu kebagusan, ya? Tertawa-tawa seperti monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?”

Beng San makin geli, matanya bersinar-sinar biarpun masih nampak sipit karena kedua pipinya memang masih bengkak-bengkak membuat mukanya mirip muka kodok. Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah.

Melihat perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas dan ia nampak makin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung pipit yang manis.

“Hi hi hi, kau buruk sekali, mukamu berubah-ubah warnanya, hihi hi seperti bunglon ..!”

Panas juga perut Beng San ditertawai seperti ini, ia membalas dengan suara ketawa yang keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong.

“Ha ha ha, mukamu pun buruk bukan main seperti … seperti kuntilanak.”

Kwa Hong berhenti tertawa.
“Kuntilanak? Apa itu?”

Seketika Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa macamnya kuntilanak!





“Kuntilanak ya kuntilanak … ”

“Seperti apa?”

“Seperti .. ah, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah!”

“Bohong!” Kwa Hong membentak. “Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, ayah bilang begitu.”

Beng San tersenyum mengejek,
“Cantik manis? Puuhhhh! Mungkin sekarang, akan tetapi dulu ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali!”

Kwa Hong membanting-banting kakinya, ia memang manja dan setiap orang yang melihatnya tentu memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang yang memburuk-burukkannya seperti ini. mana dia mau menerimanya?

“Mulutmu berbau busuk! Aku cantik manis sekarang, dulu maupun kelak, tetap cantik.”

“Cantik manis juga kalau galak dan berlagak sombong, siapa suka? Galak dan sombong seperti … seperti ….”

“Seperti apa?” Kwa Hong menantang.

“Seperti .. Jui bo (kuntilanak) …”

“Kuntilanak lagi. Seperti apa sih kuntilanak itu ?”

“Seperti kau inilah”

Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut.

Kwa Hong marah.
“Kau seperti bunglon!”

“Kau seperti Kui bo!” Beng san membalas.

“Bunglon”.

“Kui Bo!”

“Bunglon, Bunglon, Bunglon”.

“Kui Bo, Kui Bo, Kui Bo!”

Dua orang anak-anak itu, seperti lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng San memoyokinya sambil tertawa-tawa, menjadi makin marah.

“Bunglon, katak, monyet! Kau bilang aku seperti kuntilanak, apa sih sebabnya?”

“Kau berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil masih pura-pura membawa pedang kemana-mana. Kurasa dengan pedang itu kau tidak mampu menyembelih seekor katak sekalipun ! Huh, sombong.”

“Sraatt” tahu-tahu pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya. “Menyembelih katak? Menyembelih bunglon macammu pun aku sanggup!”

Pedang digerakkan.
“Syeettt … syeeettt!” dua kali pedang berkelebat dan… selongsong kulit ular yang membungkus tubuh Beng San terbelah dari atas kebawah dan jatuh ke bawah, dalam sekejap mata saja Beng San berdiri.. telanjang bulat di depan Kwa Hong!

Memang ketika mempergunakan selimut istimewa itu, Beng san menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada batang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar untuk membuat Kwa Hong menjerit dan membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, mulutnya memaki-maki.

“Kadal! Bunglon! Monyet .. tak tahu malu kau …”

Beng San juga kaget dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa sehingga ujung pedang tadi hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.

“Kau yang tak tahu malu, kau yang kurang ajar!” Beng San marah marah. “Main-main dengan pedang. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”

“Mampus juga salahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh. Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaian yang kotor butut dan tambal-tambalan. “Huh,” ia menjebi, “Kiranya hanya pengemis.”

“Kuntilanak! Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”

Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia mendengar percekcokan terakhir ini dan datang-datang ia menegur puterinya.

“Hong ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.”

Datang-datang jago Hoa san pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkap berbunyi :

“Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara.”

Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan.

“Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa kalau tidak mau dihina orang lain janganlah menghina orang lain.”

Seperti sudah diceritakan dibagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok thian tong, di antaranya juga kitab-kitab Su si Ngo keng yang sudah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi :

“Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu.”

Melihat sikap Beng san, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apalagi melihat pakaian Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular disitu, ia mengira bahwa Beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.

“Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”

Kwa Hong tak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi dan mulut cemberut. Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh kearah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar.

Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dan karena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mujijat yang memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang ouw.

Mendengar orang bicara tentang “daging” dan tentang “makan”, seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh. Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang amat wangi dan gurih.

Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan daging ular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya. Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.

“Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring. Dengan perut panas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.






No comments:

Post a Comment