Ads

Monday, August 27, 2018

Raja Pedang Jilid 003

“Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.”

Jawabannya hanya suara ketawa nyaring seorang anak perempuan berusia delapan sembilan tahun yang amat lincah berlari-lari cepat memasuki hutan lebat. Yang menegur juga tersenyum, senyum, senyum kecil yang untuk sejenak menerangi wajahnya yang suram muram.

Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi wajah ini suram-suram nampak tidak ada cahaya kegembiraan hidup, wajah tampan ini menjadi gelap dan muram semenjak ia ditinggal mati isterinya yang tercinta tiga tahun yang lalu, meninggalkan dia hidup berdua saja dengan anak tunggalnya yang bernama Hong.

Kwa Tin Siong adalah seorang jago pedang murid tertua dari Hoa-san-ciang-bunjin (ketua Hoa-san-pai) Lian Bu Tojin, namanya di dunia kang ouw cukup terkenal sebagai seorang paling tua daripada Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san), tidak hanya terkenal karena memang empat orang pendekar Hoa-san ini berkepandaian tinggi, namun lebih terkenal karena perbuatan mereka yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan. Terkenal sebagai pelindung penjahat-penjahat keji.

Liang Bu Tojin, tosu ketua Hoa san pai sudah berusia enam puluh tahun lebih dan tosa ini biarpun memiliki banyak anak murid, namun kepandaian istimewanya, yakin pedang Hoa-san Kiam-hoat, hanya diturunkan seluruhnya kepada empat orang muridnya yang terkenal sebagai Hoa-san ini yang tertua adalah Kwa Tin Siong bergelar Hoa-san-it-kian (Pedang Tunggal Hoa-san). Orang ke dua adalah Thio Wan It berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Orang ke tiga bernama Kui Keng berjuluk Toat-beng kiam (Pedang Pencabut Nyawa) sedangkan orang keempat adalah seorang gadis berusia duapuluh tahun bernama Liam Sian Hwa dengan julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang).

Kwa Tin Siong sudah berusia empat puluh tahun dan sudah menjadi duda, dua orang sutenya, yaitu Thio Wan it berusia tiga puluh lima dan Kui Keng tiga puluh tahun, keduanya sudah berkeluarga pula. Hanya orang keempat dari Hoa-san Sie-eng, yaitu Liem Sian Hwa, belum berkeluarga, masih gadis berusia dua puluh tahun akan tetapi telah menjadi tunangan Kwee Sin seorang termuda dari tiga pendekar Kun-lun.

Kwa Tin Siong amat dihormat dan disegani adik-adik seperguruannya karena pandangannya yang luas dan sikapnya yang serius. Ia gagah, jujur, dan menjadi pengikut pelajaran-pelajaran filsafat Khong-cu yang setia. Sebaliknya, anak perempuannya Kwa Tin Siong, anaknya ini merupakan matahari hidupnya dan hanya anak inilah yang kadang-kadang dapat memancing senyum di wajahnya yang selalu muram dan sungguh-sungguh.

Kwa Tin Siong terpaksa mengeprak kudanya untuk berjalan lebih cepat memasuki hutan lebat itu. Tadinya Kwa Hong membonceng di depannya, akan tetapi anak itu tiap kali merasa bosan naik kuda, pasti meloncat turun dan berlari-larian cepat.

Ia tidak akan merasa khawatir akan diri anaknya, karena sungguhpun baru berusia delapan sembilan tahun, Kwa Hong telah memiliki kepandaian silat yang lumayan. Semenjak anak itu bisa berjalan, ia sudah mendidiknya sehingga sekarang Kwa Hong memiliki gerakan yang cepat dan lincah, juga mempunyai ilmu menjaga diri yang cukup cukup kuat.

“Hong-ji (anak Hong), jangan terlalu cepat, kau nanti sesat jalan!” kembali anaknya berkelebat memasuki bagian yang gelap dari hutan besar itu.

Ia memajukan kudanya dan tiba-tiba kudanya mengeluarkan bunyi ringkik keras lalu berdiri diatas kedua kaki belakangnya, hidungnya mendesis-desis nampak ketakutan sekali,

Kwa Tin Siong berlaku waspada, maklum bahwa ada binatang buas ditempat itu. Karena sukar untuk menenangkan kudanya, ia cepat meloncat turun dan mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon.

Tiba-tiba kudanya meronta keras, kendali putus dan kudanya lari tunggang langgang, hampir pada saat itu, terdengar bunyi berkeresekan dari atas dan seekor ular besar yang melilitkan ekornya pada batang pohon diatas, menyambarkan kepalanya ke arah Tin Siong.


Tidak percuma Kwa Tin Siong menjadi orang tertua dari Hoa-san sie-eng. Biarpun matanya belum melihat, telinganya telah menangkap sambaran angin dari atas. cepat sekali kakinya bergerak dan ia sudah mengelak sambil mencabut pedangnya. Di lain saat padanganya sudah berkelebat membacok ke atas.

Ular itu terluka pedang, darah menetes. Ular itu kesakitan dan marah, cepat ia menyambar lagi bagaikan menubruk ke arah calon mengsanya.

Tin Siong terkesiap kagum menyaksikan ular yang besar sekali dan yang sisiknya nampak kuning sekali kehijauan, berkembang indah dan bersih Hampir ia merasa sayang untuk membunuh ular ini, akan tetapi karena ia berada dalam bahaya, terpaksa ia memapaki datangnya ular dengan sebuah tusukan ke arah leher sambil miringkan tubuh.

“Cesss”!

Pedang yang ditusukkan dengan tenaga lweekang itu dapat menembus leher ular yang dilindungi kulit keras, sebelum ular itu sempat menyerang pedang sudah dicabut kembali dan sebuah tabasan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya membuat leher itu putus!





Kepalanya terlempar ke bawah sedangkan ekor yang melilit dahan pohon berlahan-lahan terlepas sehingga akhirnya tubuhnya yang panjang dan besar itu jatuh berdebuk diatas tanah pula.

Tin Siong menarik napas panjang merasa sayang bahwa ular yang seindah itu kulitnya terpaksa harus ia bunuh, Ular kembang macam ini enak dagingnya dan kulitnya akan laku mahal kalau dijual di kota, pikirnya.

Ia teringat akan anaknya, dan teringat akan kudanya yang sudah melarikan diri. Anaknya harus dicari lebih dahulu dan dengan pikiran ini pendekar itu lalu lari mengejar ke arah bayangan Kwa Hong tadi berlkelebat.

Sementara itu, Kwa Hong yang berlari-larian gembira telah berada dibagian yang paling gelap di hutan itu. Memang anak ini semenjak kecil paling senang kalau bermain-main didalam hutan. Semenjak kecil berdiam bersama ayahnya di hoa-san dan hutan besar boleh dibilang adalah tempat ia bermain-main. Akhir-akhir ini ketika ayahnya mengajak ia turun gunung, ia seringkali rindu kepada hutan-hutan besar, rindu kepada binatang-binatang hutan yang amat disayanginya, maka sekarang melihat hutan, tentu saja ia seperti seekor burung, gembira sekali hatinya.

Saking gembiranya ia sampai lupa diri dan lupa bahwa jauh meninggalkan ayahnya dan baru terasa lelah kedua kakinya ketika dia duduk di bawah sebatang pohon besar. Sepasang matanya berseri-seri dan bersinar-sinar, mulutnya yang kecil tertawa-tawa ketika Kwa hong memetik dua tangkai bunga merah dipasangnya diatas kepala dikanan kiri, menghiasi rambutnya yang hitam panjang.

Tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat meloncat kesamping dan dilain saat tangan kanannya sudah menghunus pedang pendek, inilah gerakan Sin-coa-hiat-bwe (Ular sakti mengulur ekornya) sebuah gerakan ilmu pedang sebagai pembukanan kalau menghadapi lawan berat.

Gerakannya cepat sekali dan tangannya yang mencabut pedang hampir tidak terlihat, tahu-tahu pedang pendek yang tadinya tergantung dipunggungnya telah berada ditangan kanan, dipegang erat-erat gagangnya, sedangkan pedangnya melintang di depan dada. Apa yang menyebabkan gadis cilik ini kaget? Mukanya pucat dan ia berdiri seperti patung, lenyap semua seri gembira diwajahnya.

Bukan hanya dia, andaikan disitu ada orang lain orang segagah ayahnya sekalipun, tentu akan kaget setengah mati melihat apa yang dilihat oleh Kwa hong ini. Mana didunia bukan mimpi, memang nyata-nyata terlihat olehnya hal itu terjadi. Mula-mula ia tadi berseru kaget karena melihat ada seekor ular besar dibawah pohon, kurang lebih dua puluh meter jauhnya disebelah sana.dan sekarang…. tahu-tahu ular itu “bangun” berdiri dan berloncat-loncatan menghampirinya.

Hampir saja Kwa Hong lari tunggang langgang saking takut dan ngerinya kalau saja ia tidak mendengar suara orang tertawa, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa yang tertawa adalah “ular berdiri” itu. Kemudian timbul jiwa ksatria yang diturunkan ayahnya kepadanya dengan pedang dipegang erat-erat di tangan ia membentak.

“Siluman dari mana berani menggangguku”.

“Ha-ha-ha, lagaknya. Kakimu menggigil seperti orang sakit demam kok masih berlagak gagah. Ha ha ha!” ternyata ular itu setelah dekat tidak berkepala lagi dan dari leher ular itu tersembullah kepala seorang anak laki-laki, anak yang bermata lebar dan bermuka putih kehijauan. Anak ini bukan lain adalah Beng San.

Seperti telah kita ketahui Beng San menggeletak di bawah pohon dalam keadaan yang dianggap sudah tak bernyawa lagi oleh Siok Tin Cu. Memang waktu itu anak ini sudah seperti mati, mukanya hijau kebiruan, tidak ada napasnya lagi dan tidak ada detak jantungnya lagi.

Akan tetapi, ternyata Siok Tin Cu salah kira. Terjadi hal-hal yang mujijat dalam diri anak yang bernasib malang ini, atau lebih tepat kita katakan bukan bernasib malang karena secara kebetulan sekali ia terhindar dari malapetaka yang akan mencabut nyawanya akibat dari ditelannya tiga butir pil obat beracun dari Siok Tin Cu, tiga butir pil beracun yang mengandung hawa panas yang mujijat, sari dari pada hawa thai yang.

Pada saat Beng San ditemukan oleh Koai Atong, memang nyawanya sudah di bibir kematian. Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu memukulnya dengan tenaga Jing tok ciang, malah melukainya dengan anak panah yang ujungnya sudah dilumuri racun hijau.

Hawa pukulan dan racun ini cepat sekali menjalar diseluruh tubuh melalui jalan darahnya dan terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa thai yang dari tiga butir pil itu dengan tenaga Im kang dari pukulan Jing tok ciang dan racun hijau. Dalam keadaan kedua hawa yang bertentangan dan bergulat itulah Siok Tin Cu melihat Beng San seperti sudah mati.

Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali ke alam baka. Semalam suntuk kedua hawa mujijat itu bertempur di dalam tubuhnya dan seperti biasanya kalau racun bertemu dengan racun yang berlawanan, menjadi punah. Bahkan sebaliknya daripada terancam nyawanya, tanpa disadarinya tubuh Beng San di bagian dalam mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran itu, mendatangkan kekuatan yang luar biasa.

Demikianlah, pada keesokan harinya Beng San sadar, seakan-akan baru bangun dari kematian. Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh tosu yang mengaku bernama Siok Tin Cu.

Teringat akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti bulu ayam!

Akan tetapi hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh tosu itu ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin? Beng San menggigil dan lari kesana kemari mencari tempat berlindung. Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.

Kebetulan sekali ia melihat kulit ular atau selongsong kulit ular bergantungan di sebuah pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang ular. Akan tetapi setelah dilihat bahwa itu hanyalah selongsong daja, ia segera memanjat pohon dan mengambil selongsong itu.

Kiranya seekor ular besar sekali telah berganti kulit disitu dan selongsongnya yang kering tergantung disitu. Beng San seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit ular ini kiranya boleh dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus dirinya dengan selongsong kulit ular yang panjang dan lebar itu.






No comments:

Post a Comment