Ads

Wednesday, January 9, 2019

Rajawali Emas Jilid 143

Diatas panggung, kakek itu tertawa-tawa,
“He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau sedang meninggalkan pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau tak juga muncul? Ataukah barangkali kau takut mati? Kalau begitu kau tak patut menjadi pendiri Thai-san-pai”

Beng San sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya.
“Dengan ilmu pedangku aku akan dapat mengatasinya,” katanya lirih.

“Paman, aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat. Harap Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya.”

Karena sudah percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal luar biasa ini. Memang ia merasa betapa hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia merasa lemah sekali ia lalu duduk dan meramkan mata hendak menerima pengobatan aneh itu.

Kun Hong mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu menotok jalan darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San menjadi lemas, tak mampu bergerak lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Pendekar ini kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya, ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu yang kini telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh pemuda itu tahu-tahu melayang ke atas panggung.

Kun Hong kini tidak berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia mempergunakan kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li Cu dan para muda. Li Eng dan yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk melayang naik.

Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah, tidak kelihatan menekuk lutut untuk menghimpun tenaga meloncat, tahu-tahu, kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke panggung seperti burung terbang saia. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri takkan mampu melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.

Kakek tua renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek lalu mendengus,

“Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu pengecut untuk ajukan seorang bocah macammu? Apa kehendakmu kesini? Jangan main-main usiamu masih muda, sayang kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda. Heee, Thai-san-pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih sakti dan matang, jangan mengirim bocah cilik!”

“Locianpwe, tenanglah dan dengarlah dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian cianpwe yang hadir disini,” kata Kun Hong, suaranya terdengar aneh dan menggema seperti suara yang datang dari angkasa membuat kaget semua orang, juga kakek itu sendiri,

“Tak perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang menderita luka parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para Cianpwe tidak mengetahui dan hal ini aku mengetahui baik-baik Locianpwe, bahwa Paman telah menderita luka berat karena pengeroyokan yang curang dan kaupun termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil mengalahkan Siauw-ong-kwi, biarpun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau orang tua begini bernafsu hendak bertanding melawan Paman Tan Beng San kau kembalilah barang tiga empat pekan lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu, Sekarang kalau kau suka bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak, benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk menghadapimu!”

Semua orang yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Heran akan keberanian pemuda ini, dan juga mendengar betapa Tan Beng San sudah terluka kemarin dulu karena dikeroyok, orang-orang menjadi berisik,

“He, bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau anak murid Thai-san-pai?”

“Namaku Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua Hoa-san-pai. Biarpun aku tidak berkepandaian, namun aku menyediakan selembar nyawaku untuk memberantas ketidak adilan ini. Kakek tua, kau sudah tua, seharusnya mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan nafsumu, atau kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan lagi.”

“Keparat, aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!”





“Kalau begitu, akulah lawanmu.”

“Kau berani melawan aku, bocah ingusan?”

“Yang benar takkan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal.”

“Monyet kecil, kalau kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan kusembah!”

“Aku tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah.”

Tidak kelihatan tangan kakek itu bergerak, tahu-tahu angin menyambar mendahului gerakan tangan kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.

Pemuda ini sudah kuat sekali nalurinya maka ia cepat mengerjakan langkah-langkah Kim-tiauw-kun. Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, namun tubuhnya sama sekali tidak terkena.

Angin pukulan kedua menyambar, dan kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya sekarang kuda-kudanya miring, tangan kirinya mendorong dari samping. Kun Hong , masih terus melangkah terhuyung-huyung dan “Brakkk!” papan di belakangnya amblong terkena angin pukulan yang hebat itu!

Para tamu mengeluarkan suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka saksikan dan tadinya mereka sangka hanya terdapat dalam dongeng belaka. Makin lama makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan menjadi pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang namun aneh bukan main pemuda itu menjalankan langkah-langkah ajaibnya dan pukulan terdekat hanya membuat rambutnya berkibar awut-awutan, namun belum juga terkena pukulan.

“Sudah sepuluh jurus!” terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang tamu yang merasa penasaran terhadap kakek itu.

Pak-thian Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.
“Orang muda, sekarang aku akan menyembahmu!” Kedua tangannya bergerak dan pada saat itu terdengar seruan nyaring sekali.

“Orang muda, awas!!”

Namun terlambat, Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu benar-benar berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar biasa keras dan kuatnya menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya, melipat diri menutupi muka seperti trenggiling melingkar dan mengerahkan hawa murni dalam tubuh.

Tubuhnya seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar dan turun dari panggung! Ia terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali Kun Hong melompat lagi ke atas panggung.

Akan tetapi diatas panggung berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang memandang kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik.

“Tua bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan akal muslihat curang!”

“Heh-heh, Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kaupun sekarang hendak menjilat pantat Thai-san-pai?”

Dari bawah panggung terdengar suara Beng San.
“Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan mengeroyok!”

Ternyata setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya sehingga pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapapun juga, dalam diri Kun Hong bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia menjadi lega dan harapannya membesar. Karena pemuda ini berjuang atas nama Thai-san-pai, maka ia tidak setuju kalau mertuanya membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguhpun ia girang sekali menyaksikan perubahan sikap ayah mertua yang aneh ini.

“Kakek, jangan mengeroyok, memalukan saja!” Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.

Song-bun-kwi menoleh, matanya mendelik,
“Tak puas kalau belum memukul!” tubuhnya merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan.

Itulah ilmu pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan. Kakek tua renta itu menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke belakang, hampir saja terguling dari atas panggung.

“Hebat tenagamu, tua bangka!” berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan pula karena pada saat itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.

“Orang muda Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!”

Song-bun-kwi berseru sambil melompat turun. Kakek yang gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh, malah lebih aneh daripada Beng San ketika muda dahulu, maka timbullah simpatinya.

Melihat Kun Hong tidak apa-apa dan sudah naik, kakek itu tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan ringan sekali berwarna putih seperti perak.

Ia tahu bahwa biarpun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian, maka ia tidak mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut Ang-hong-kiam dari balik jubahnya. Sinar merah memancar ketika ia mencabut pedangnya.

“Heh, bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?”

Kakek itu menegur, kelihatan kaget, akan tetapi dasar licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat sekali, namun jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini sudah cukup memisahkan kepala lawan dari badannya!

Kun Hong cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang ia latih di dalam guha dahulu. Gerakan-gerakannya aneh sekali, cara memegang gagang pedang juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun Hong diserang dan ia masih belum juga membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan pedang, akan tetapi sebegitu jauh belum dapat ia menjajaki. Ilmu pedang lawannya juga aneh dan banyak ragamnya.

Memang kakek setua ini sudah terlalu banyak mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus mempergunakan langkah-langkah ajaib sehingga dapat menghindar dengan tepat.

“Hong-ko, balas serangan!” tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring.

Itulah suara Cui Bi dan suara ini membuat dua orang diantara para tamu menengok dengan mata terbelalak marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.

Mendengar seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus membalas serangan kalau tidak mau kalah. Maka ia lalu mulai menyerang. Akan tetapi alangkah ganjilnya, pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu.

Hebatnya, kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun Hong berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan lengah, padahal dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Malah tiba-tiba Kun Hong membentak dan pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri!

Cui Bi sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh ia diam. Sejenak kakek tua renta itupun kaget dan heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika pedang yang hampir menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia terheran-heran, ujung pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.

“Celaka, mengelaklah, orang tua!”

Seru Kun Hong. Jurus ini adalah jurus yang mujijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia tarik kembali dan ia sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus leher kakek itu.






No comments:

Post a Comment