Ads

Friday, January 4, 2019

Rajawali Emas Jilid 130

“Baiklah, Hong-ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan kalah oleh keroyokan orang jahat.”

Cui Bi merasa yakin sekali akan kepandaian ayahnya, maka mendengar bahwa ayahnya dikeroyok orang, ia tidak menjadi gelisah. Apalagi setelah ia mendengar bahwa ibunya telah pula datang ke tempat itu, apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan lagi? Masih ada lagi Hui Cu cukup lihai dan terutama Li Eng yang berkepandaian tinggi.
Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang muda berlari cepat mendatangi dari depan. Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu dan Sin Lee,

“Adik Cui Bi, kau tidak apa-apa?” teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui Bi sudah berjalan di samping Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya mukanya agak pucat.

Cui Bi juga girang melihat Kong Bu akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan jalan terowongan dan ketika melihat Sin Lee juga berada disitu, ia meragu. Betapapun juga melihat sikap yang begitu memperhatikan, ia segera bertanya,

“Bu-ko hendak kemanakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan dia ini….?” Ia mengerling kearah Sin Lee yang berdiri tegak.

Kong Bu tersenyum lalu memegang kedua tangan adik tirinya.
“Ah, adikku, jangan kau curiga. Aku tadi melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku ikut mengejar untuk menolong adik tirinya. Bukankah begitu?” pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu sambil memandang Sin Lee.

Sin Lee mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh keharuan, juga kebingungan karena baginya urusan antara ibu dan ayahnya itu membuat ia ragu-ragu dan serba salah.

Cui Bi terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap wajah Sin Lee dengan pandang mata tajam penuh selidik.

“Kau juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih hendak memusuhi Ayah, memusuhi Ibu, memusuhi aku?”

Sinar mata yang bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakan-akan hendak menembus hatinya. Sin Lee tertegun, tak dapat menjawab.

“Adik Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah telah dikeroyok banyak tokoh lihai, terluka dan hampir celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya hati kami tidak dapat mengijinkan orang-orang membunuh ayah kami di depan mata kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan sekarang telah dibawa pulang oleh ibumu.”

Wajah Cui Bi menjadi pucat seketika.
“Ayah terluka….? Ah, hayo kita pulang, menengok Ayah!”

Ia lalu melompat dan berlari cepat menuju ke puncak. Kong Bu dan Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut pula berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.

“Ah, aku lupa… maaf, Hong-ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-ko dan Lee-ko, terpaksa kita berlari jangan terlalu cepat agar Hong-ko tidak ketinggalan.”

Kun Hong tersenyum.
“Larilah Bi-moi, dan aku akan mencoba mengikutimu dari belakang.”

Demikianlah, empat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang terdekat, dipimpin oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak dapat mengimbangi kecepatan mereka.

Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar penuturan Cui Bi tentang perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong. Biarpun Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai itu tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa sehingga dapat mengejar Giam Kin dan dapat memberi pertolongan kepada Cui Bi.

Kedatangan mereka disambut anak murid Thai-san-pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci dan Li Eng yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong Bu ikut pula datang ke puncak.

“Paman Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi,” kata Li Eng dan cepat-cepat dengan wajah penuh kegelisahan Cui Bi memasuki rumah diikuti oleh Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu, Li Eng, dan Kun Hong.





Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan alangkah kagetnya dan sedih hati Cui Bi ketika melihat ayahnya duduk bersila dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di belakang ayahnya, menempelkan telapak kedua tangannya pada punggung ayahnya.

Keduanya meramkan mata, napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang sedang memberi saluran hawa murni ke tubuh suaminya untuk membantu suaminya memulihkah tenaga dan mengobati luka di dalam, kelihatan pucat dan keringatnya membasahi leher dan muka.

Orang-orang muda itu yang tahu akan ilmu silat tinggi, maklum apa yang sedang dilakukan dua orang tua diatas pembaringan itu, maka mereka tidak barani mengganggu. Tiba-tiba Kun Hong melangkah maju dan berkata halus,

“Bibi, harap kau suka mengaso, amat berbahaya bagi kesehatan Bibi sendiri, biarlah aku yang bodoh mencoba-coba mengobati Paman Beng San.”

Semua orang terkejut dan merasa lancang ucapan Kun Hong ini. Li Cu dan Beng San yang mendengar ada suara orang, segera membuka mata, memandang kepada mereka.

“Ayah, Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang….” kata Cui Bi, menahan isak tangisnya melihat keadaan ayahnya.

Memang hebat sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan Iwee-kang dan senjata yang mengandung racun mematikan, keadaannya amat berbahaya, cahaya matanya sudah menghilang dan pandang matanya sayu.

Akan tetapi begitu melihat Kong Bu dan Sin Lee berdiri disitu, ia tersenyum, mengangguk-angguk dan matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia. Li Cu yang maklum bahwa suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya berkata,

“Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah diluar.”

Akan tetapi Beng San memandang Kun Hong, melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata pemuda itu berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, berkata lemah,

“Biarlah… biarlah dia… mengobatiku… kau beristirahatlah… dia betul… berbahaya bagi kandunganmu….”

Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari mulutnya menyembur darah segar.

Li Cu kaget sekali, cepat menerima tubuh suaminya dan menidurkannya telentang menahan isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah sekali, ia sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk membantu suaminya dengan mengerahkan tenaga Iwee-kang yang berlebihan. Mukanya pucat kehijauan, napasnya terengah-engah.

“Bi-moi, tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus cepat diberi obat,” kata Kun Hong setelah memandang sejenak ke arah Li Cu.

Cui Bi terheran-heran tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini pandai ilmu pengobatan maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan huruf- huruf yang indah dan cepat sekali keatas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.

“Carilah obat ini, campur air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu beri minum kepada ibumu.”

Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang membersihkan darah yang dimuntahkan suaminya tadi dengan sehelai saputangan.

“Bibi, harap kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu.”

“Tidak, aku harus menjaga dia….”

Mendengar suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia dapat melihat bahwa keadaan nyonya ini amat berbahaya, karena dalam keadaan mengandung telah menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni, hal ini benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga bagi kesehatan tubuhnya.

“Bibi, percayalah kepadaku apabila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh. Bi-moi, kau ajaklah Ibumu beristirahat dan cepat kau menyuruh orang mencarikan obat dari resep itu.”

Melihat sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia selalu mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang yang menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai ahli pengobatan. Ia memeluk Ibunya dan berkata,

“Ibu, kau percayalah kepada Hong-ko, mari mengaso dan minum obat.”

Li Cu memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan perlahan-lahan air mata berlinang keluar dari mata itu.

“Kun Hong, kau putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga kau betul-betul dapat menyembuhkannya….”

Lalu ia menahan isak ketika memandang lagi kepada suaminya yang sudah pingsan terengah-engah itu kemudian keluar dari kamar dituntun puterinya.

“Kuharap kalian berempat suka pula keluar dan menunggu diluar. Terlalu banyak orang di dalam kamar amatlah tidak baik bagi si sakit. Li Eng tolong kau minta kepada Cui Bi supaya memberiku jarum-jarum perak dan sepanci air panas mendidih.”

Tanpa berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar, akan tetapi tidak meninggalkan ruangan diluar kamar itu. Dari pintu kamar yang tetap terbuka mereka dapat melihat kedalam, melihat apa yang akan dilakukan oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang sudah amat payah keadaannya itu. Adapun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barang-barang yang dipesan oleh Kun Hong tadi,

Setelah semua orang pergi, Kun Hong lalu memulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San. Kening pemuda itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal tentang pengobatan yang sudah dihafalnya dari kitab-kitab Yok-mo.

Ia memeriksa jalannya darah pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan darah terpenting. Ia mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga tempat, dan darahnya terserang racun berbahaya dari luka-lukanya diluar pula. Benar-benar amat parah.

Dengan gerakan perlahan tapi tepat dan tidak ragu-ragu, Kun Hong menotok beberapa pusat jalan darah di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk mencegah menjalarnya racun dan mencegah darah keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan Iwee-kang pada telapak tangannya yang ia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi.

Ketika Li Eng datang memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum perak, Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada Li Eng untuk keluar kamar dan menutupkan pintunya.

Li Eng memenuhi permintaan ini dan sekarang empat orang muda itu berdiri diluar kamar, tidak dapat lagi melihat apa yang dilakukan oleh Kun Hong didalam kamar itu, saling pandang penuh keheranan dan menduga-duga.

“Hebat pamanmu itu,” kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.

“Apakah kau sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan?”

Tanya Sin Lee kepada Hui Cu. Pertanyaan-pertanyaan ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan dengan Hui Cu.

“Memang dia orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa akan tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian luar biasa.” Jawab Li Eng kepada Kong Bu.

“Aku sendiri tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang kepandaiannya, kecuali kepandaian membaca kitab.” Bisik Hui Cu sebagai jawaban kepada Sin Lee.

Pelayan datang mengantarkan minuman kepada empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi, Kong Bu dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar, adapun dua orang gadis itu duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar.






No comments:

Post a Comment