Ads

Wednesday, December 26, 2018

Rajawali Emas Jilid 108

“Itulah kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong kemana-mana, sekarang setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!”

“Cihhh, tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu? Puuhhh! Hayo naik, masuk ke kuil.”

“Tidak sudi!”

Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar sehingga deretan giginya yang putih rata dan kuat itu tampak berkilat diatas dagunya yang membayangkan kekerasan hati yang luar biasa.

“Kepala batu!” seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong Bu melayang melewati anak tangga, kedalam kuil.

Akan tetapi ketika tubuh itu turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering saja, sama sekali tidak terbanting keras.

Diam-diam Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong terkejut dan kagum sekali melihat ini. Cara gadis cantik jelita ini membetot tali membuat tubuh pemuda itu melayang ke dalam kuil, membuktikan kehebatan Iwee-kang Si Gadis dan hanya seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu.

Dilain pihak tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula kehebatan gin-kang dari Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat!

Sementara itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat “keponakannya” memperlakukan seorang tawanan seperti itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru,

“Eng-ji, benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!”

Li Eng menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar. Tanpa terasa ia melepaskan ujung tali dan lari menubruk Kun Hong,

“Paman Hong….! Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncat-loncat seperti anak kecil diberi permen. “Aduh, Paman Kun Hong… siapa mimpi bertemu dengan kau disini?”

Kun Hong mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang akan tetapi berpengaruh sekali.

“Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu kau harus lepaskan belenggu dia itu!”

Ia menuding kearah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam akan tetapi ia tidak mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan tetapi sudah butut, sikapnya lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.

“Aih, mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang telah menawan aku dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula olel orang lain entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua Song-bun-kwi diserahkan kepada… iblis muda ini. Baiknya aku dapat… eh….”

“… menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba,” Kong Bu menyambung.

“Diam kau, setan alas!” Li Eng memaki.

“Li Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian dapat dirundingkan. Tak patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini. Hayo, kau buka ikatan tangannya.”

“Tapi… tapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin… aku… belum tentu dapat menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang buas….”

Sementara itu Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan dengan tajam sekali. Serasa ia mengenal wajah ini, akan tetapi entah dimana. Tak mungkin wajah segagah dan setampan ini dihuni watak yang rendah.

“Kau lepaskan, aku yang tanggung.” Li Eng adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri.

Akan tetapi semenjak bertemu dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia membantah perintah pamannya yang muda ini. Setelah menarik napas berulang-ulang, ia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali tabas ia hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu.

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





Akan tetapi tiba-tiba ia melompat ke belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah. Kiranya Kong Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakkan kedua tangannya dan… Belenggu akar pohon itu seketika putus-putus!

Dengan gerakan ringan sekali Kong Bu meloncat bangun, berdiri dengan baju bagian belakang hancur sehingga punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu. Pemuda ini dengan berdiri tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh ejekan.

Gadis itu merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau mau dalam perjalanan mereka itu dapat melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda itu membiarkan dirinya ditawan, hanya untuk menggodanya.

“Setan kau!” desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang.

“Eng-ji, jangan!” Kun Hong membentak dan… gadis itu dengan lemas menurunkan kembali pedangnya.

“Dia… dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke depan Sukong (Kakek Guru) agar dihukum!”

Kun Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, namun sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Diapun dapat menduga bahwa pemuda yang gagah di depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura menyerah saja. Gin-kang yang didemonstrasikan tadi, juga tenaga memutuskan tali akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga bahwa kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.

“Sahabat, harap kau maafkan kalau keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku percaya kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis, keponakanku ini. Kau boleh meninggalkan kami dan kuharap kau suka memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua orang keponakanku dan kemana pula perginya keponakanku yang seorang lagi.”

Kalau tadi perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia memandang kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun. Mata itu. Terang bukan mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh wibawa dan kekuasaan. Dan kata-kata yang halus itu! Diam-diam ia kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa!

“Sahabat, kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai, memang beralasan. Ibuku mati karena anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid Hoa-san-pai, yang seorang dirampas oleh orang lain, entah siapa. Seorang lagi diserahkan kepadaku. Aku tawan keponakanmu ini, aku malah sudah melemparnya kepada anjing-anjing hutan untuk dimakan, Akan tetapi aku menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu, tertawan olehnya. Dia menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas-membalas sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini. Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan. Kita sudah seri. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, juga tidak mau disalahkan.”

Kun Hong mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat meraba isi hati orang, dapat menaksirkan watak orang. Pemuda ini berjiwa gagah, jujur dan sama sekali tidak jahat. Hanya keras hati dan aneh. Ia menggeleng kepala.

“Apakah yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang diantara kedua keponakanku ini?” tanyanya, menegur.

“Bukan! Akan tetapi merekapun anak murid perempuan Hoa-san-pai.”

“Hemmm, kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Seorang anak murid Hoa-san-pai membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi semua orang Hoa-san-pai? Kalau begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani di permukaan bumi ini? Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kaupun akan memusuhi seluruh manusia di jagat ini?”

“Ngaco!” Kong Bu membentak. “Itu lain lagi!”

“Bukan ngaco, apa bedanya? Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu semua anak murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya kalau ada seorang petani bersalah belum tentu seluruh petani harus bersalah, atau kalau ada seorang manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan seluruh umat manusia. Apalagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan, setiap orangpun bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, kalau bisa berbuat begitu barulah terhitung seorang gagah sejati.”

Kong Bu termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Ia membalikkan tubuh, berkata,

“Sudahlah, aku pergi!” Sambil mengerling ke arah Li Eng ia berkata, “Sampai berjumpa lagi.”

“Apa?” Li Eng menyerang ketus. “Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong aku ingin bertempur seribu jurus denganmu sampai seorang diantara kita menggeletak tak bernyawa!”

Kong Bu tertawa mengejek,
“Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu.”

Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.

Kun Hong menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua pipinya.

“Kenapa kau begitu membencinya, Li Eng?”

“Aku benci padanya! Benci… benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman. Dia bilang semua murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak memandang sebelah mata kepadaku!”

Suara gadis ini makin parau seakan-akan ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.

Kun Hong tersenyum.
“Benci atau cinta itu sama saja….”

“Hisss! Kau bilang apa, Paman….??”

Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua matanya terbelalak. Indah sekali sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling indah diantara anggauta tubuh keponakannya ini adalah matanya yang seperti bintang itulah. Ia kagum sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum,

“Baik cinta maupun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi oleh keadaan, berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yans sudah menjadi watak dasar setiap manusia. Siapa yang menguntungkan dan menyenangkan diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak menyenangkan diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan tak mungkin esok hari kita mencintanya.”

“Apa….?” Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. “Kau mau bilang aku akan mencinta… dia….?”

Kun Hong mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andaikata ia bukan paman Li Eng, agaknya gadis ini akan menamparnya.

“Bukan kau… bukan kau… aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja mengalami hal ini dan… heee, mana dia?”

“Dia siapa?” Li Eng menengok kekanan kiri belakang.

“Dia tadi di dalam bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)… keluarlah!”

Kun Hong memanggil-manggil, malah segera masuk ke dalam mencari-cari. Namun orang yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang pintu, pada tiang kayu yang keras dimana mereka berdua tadi bersembunyi dan mengintai, terdapat tulisan, ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu yang keras itu.

“Hong-ko, aku pergi dulu, sampai jumpa pula.”

“Siapakah dia itu, Paman Hong?” tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca tulisan ini. “Hebat juga Iwee-kangnya!”

Kun Hong menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat akan persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.

“Dia anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ah, sayang ia pergi. Aku tidak tahu mengapa ia buru-buru pergi, aku ingin sekali memperkenalkan dia kepadarmu Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga dengan dia. Sekarang lebih baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar kita dapat memberi tahu kepada Paman Tan Beng San dan disana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang jahat.”

“Baiklah, Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu….” Li Eng nampak gelisah dan berduka.

“Jangan kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Adil. Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku seperti mendapat firasat bahwa kita akan berjumpa dengan dia di Thai-san juga.”

Berangkatlah dua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng maupun Kun Hong melakukan perjalanan dengan wajah muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada masing-masing bahwa mereka murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diam-diam hendak mereka bantah sendiri bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orang-orang yang mereka “benci” dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini.

**** 108 ****





No comments:

Post a Comment