Ads

Monday, December 24, 2018

Rajawali Emas Jilid 104

“Bagus, kau boleh coba menyambut ini !” kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya kearah ulu hati si pemuda.

Melihat ini pemuda itu dengan berani sekali lalu menyambut pukulan itu dengan tangan kanannya. Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru celaka, karena ia maklum bahwa si gendut itu mempunyai tenaga Iweekang yang amat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh mau menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh si gemuk?

Terang bahwa si gemuk maklum akan kelihaian permaianan pedang pemuda itu maka ia sengaja mengajak adu tenaga Iweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar di sambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel oleh tangan kirinya, kemudian datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat mempergunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat di tangan Kun Hong.

Begitu kedua telapak tangan itu bertemu tubuh keduanya tergetar, akan tetapi bukan main kagetnya hati si gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, namun yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongnya.

Ia maklum bahwa pemuda itu karena merasa kalah tenaga telah menggunakan tenaga lemas dan menyerah saja di “tempel”. Inilah yang ia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu diatas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar kearah leher lawan!

Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat, sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kirinya itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk.

Si gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung diatas kepala seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira, gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya amat cekatan dan tangkas, tidak kalah dengan gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dan…………..”brettt!” ujung cambuknya putus.

“Ayaaaa !”

Si gemuk menggerakkan tenaga mendorong sehingga penempelan kedua tangan itu terlepas, dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh diatas tanah untuk membebaskan diri dari pada tenaga Iweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.

Sama-sama mereka membebaskan diri dari pada penyerangan tenaga Iweekang yang membalik, namun tentu saja gerakan pemuda itu jauh lebih indah dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya.

Si gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua dan pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrak pertama ini si gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.

“Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!” teriak Bi Houw si muka tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri. Juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.

“ha-ha, sudah sejak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!” kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.

Merah muka si gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, ia merasa terpukul dan malu sekali. Masa mereka sembilan orang laki-laki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia persilatan, hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, kalau pemuda ini tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak.

“Orang muda, biarpun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang, tentu kau tak dapat keluar dengan selamat !”

Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.

“Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak mampu merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai !”

Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, benar-benar keadaannya berbahaya. Biarpun seorang melawan seorang dia telah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan saja.





Selain ini, kalau dikeroyok, kiranya pemuda itu tidak akan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah. Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras.

“Tahan dulu, jangan berkelahi !”

Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan Pemuda itu yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.

“Kau siapa? Mau apa?” Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.

Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batinnya seperti yang ia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata,

“Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau pergi saja sebelum kalian mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!”

Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Akan tetapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.

Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil, bibirnya membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot seakan-akan hendak keluar biji mata mereka dari ruangnya.

Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri seperti patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk “mengatur” matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang makin menjuling. Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, lalu ia berteriak,

“Siluman….!”

“Iblis…,!”

“Setan! Lebih baik pergi.”

“Lari….!” teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.

Berserabutan mereka lari. Ada yang mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.

Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis iapun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang kesana kemari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.

“Kenapa… kenapa mereka itu….?” pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya, melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.

“Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?” jawab Kun Hong, nadanya mengejek.

Pemuda itu matanya berkilat, marah.
“Jangan main-main kau!”

“Eh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?”

“Siapa sudi jadi tontonan orang!”

“Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang.”

“Eh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?”

“Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apalagi mengandalkan kepandaian. Ah, aku tidak berkepandaian apa-apa.”

Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya dlangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali.

Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa artinya gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempilingnya itu.

“Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!”

Mata pemuda itu makin membara.
“Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, memberi nasihat Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu.”

Dada Kun Hong terasa panas hendak meledak.
“Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa Thai-san-pai mempunyai murid begini jahat.”

Pemuda itu tiba-tiba membentak,
“He, kenapa kau mengintai aku? Mengapa kau mengikuti aku?”

“Setan, siapa mengintai? Siapa mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?”

Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tidak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula mengapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.

“Kau hendak ke Thai-san? Mau apa kesana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor tikus tadi?”

“Jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai adalah sahabat yang amat baik dari Ayah, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa.”

Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya.
“Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai.”

Mengkal benar hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab,

“Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai.”

Pemuda itu mendengus,
“Siapa tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, kalau mereka anak Hoa-san-pai, kaupun tentu orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong.”

“Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanyalah anak murid Thai-san-pai biasa saja, walaupun kepandaianmu tinggi. Hemm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak-terjang muridnya seperti kau ini!”

Pemuda itu nampak terkejut, terbelalak memandang Kun Hong.
“Heee! Apa kau mau mengadu kepada… Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?”

“Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai.”

Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tidak menyembunyikan kekagetannya ketika bertanya,

“Apa? Kau… kau anak dari… Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?”






No comments:

Post a Comment