Ads

Saturday, December 22, 2018

Rajawali Emas Jilid 098

Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya.
“Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman betina? Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!” Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.

Pemuda ini kaget setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan memperkenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tidak akan mengganggunya, siapa tahu malah justeru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.

Akan tetapi ternyata yang kaget sekali malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, kini tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala dan tangan kiri menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh sekali dan tak mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan orang yang diserangnya.

Angin yang panas hawanya mendahului penyerangan ini. Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunyapun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lalu menyerang dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil mengeluarkan suara melengking berkali-kali.

Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang tergetar-getar karena suara lengkingan itu, dan menghadapi serangan-serangan Song-bun-kwi, ia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.

“Locianpwe, kenapa kau menyerangku? Apa salahku?” berkali-kali ia bertanya, namun hal ini malah merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua penyerangannya itu dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.

Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biarpun sampai belasan jurus ia belum mampu memukul roboh Kun Hong, namun ia sebetulnya cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh dan langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek itu akan mengenal sedikit gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.

Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka, pikirnya, apakah dia gila mendadak? Lebih baik lari saja. Setelah berpikir demikian, ia menanti kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba berjongkok dengan kedua tangan dibuka dikanan kiri seperti seekor katak hendak melompat tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri.

Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan Iwee-kang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.

Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan ginkangnya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong.

Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Adakalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur dan lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak berhasil mencengkram pemuda aneh itu.

Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah ia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.

Pemuda itu seperti bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas dan kelihatan takut-takut dan bingung, seperti orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakan itu pun tidak patut disebut ilmu silat, seperti ayam dikejar atau seperti burung.

Mereka berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan membentak,





“Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!”

Ia masih merasa malu kepada diri sendiri untuk mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apalagi kalau harus menggunakan senjata gelap! Kali ini benar-benar kehormatannya tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang.

Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena tiba-tiba terdengar suara orang mengejek,

“Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan? Ha-ha-ha!”

Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia menghentikan pengejarannya, lalu membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.

“Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!”

Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi.
Kakek itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.

Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi ini adalah seorang diantara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul disitu?

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok.

Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi. Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya dan sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar iapun ingin mencoba lagi kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai. Kebetulan sekali di hutan ini ia melihat Song-bun-kwi yang mengejar-ngejar seorang pemuda yang kelihatan ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek.

Ketika Song-bun-kwi dengan marah menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras dan menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang ampuh.

Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebat. Sambaran angin pukulan mereka membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar dan pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi dan suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi.

Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong berdiri bengong. Bukan main kagumnya menyaksikan pertandingan yang hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.

Ia masih berlari-iari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya,
“He, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?”

Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera ia berhenti dan memandang dengan muka merengut.

“Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?”

Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia mengenal Kun Hong. Alisnya yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.

“Eh, kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?” katanya dengan nada seakan-akan kecewa telah menegurnya tadi.

Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju kearah dari mana Kun Hong datang.

Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai didalam hutan begini dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, seperti orang berjalan-jalan menjual aksi saja, Dan alangkah angkuh dan sombongnya.

Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju kearah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapapun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong. Apalagi pembesar itu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti dan tertimpa malapetaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.

“He, tunggu dulu!” teriaknya mengejar.

Pemuda itu menoleh.
“Mau apa kau?” caranya bertanya memandang rendah sekali.

Kun Hong menahan gemas hatinya.
“Jangan kau pergi kesana, disana ada dua orang kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!”

Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek,
“Huh, mana aku takut segala obrolan kosongmu?”

“Sombong kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat disana. Mereka benar-benar sakti dan jahat.”

Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu. Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru,

“Betulkah Song-bun-kwi disana?”

Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu lalu berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan.

Sejenak Kun Hong terlongong. Gilakah orang muda itu? Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau tidak gentar menghadapi singa? Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan diluar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!

“Heee, jangan kesana….!” serunya berkali-kali dan Kun Hong kagum sekali ketika melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang.

Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga agar jangan sampai ia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.

Ketika ia tiba di dalam hutan dimana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambut dengan suara marah,

“Kau pembohong besar. Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannyapun tidak ada disini?”

Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena ia tidak ingin diketahui orang bahwa iapun pandai ilmu lari cepat.






No comments:

Post a Comment