Ads

Wednesday, December 19, 2018

Rajawali Emas Jilid 092

Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati keras itu bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek, saling menawan dan marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak terkenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga mampu merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.

Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi dan merampas Hui Cu itu ternyata adalah seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum-senyum bibirnya, matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!

Seperti kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke depan kaki ibunya. Dan di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.

Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu, dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda.

Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang. Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga ia tidak tahu urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar.

Oleh karena inilah maka ia terus secara diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk kedalam kelenteng. Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, Sin Lee makin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kong-kongnya kakeknya adalah ketua dari Hoa-san-pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.

Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-san!

Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya pula, dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya!

Inikah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak mempunyai maksud menolong dua orang gadis itu, ingin ia menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas.

Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan tahu bahwa kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari tempat itu. Daripada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang diantara kedua murid Hoa-san-pai itu.

Hui Cu mengalami kekagetan ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, namun dalam pondongan orang ini ia sama sekali tak dapat bergerak.

Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andaikata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut, akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis inipun akan tertawan pula.

Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Ketika Hui Cu mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya diantara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau ia teringat akan nasib Li Eng di tengah kakek yang menyeramkan itu.

“Kau siapakah. Kawan ataukah lawan? Kemana kau membawaku pergi?” akhirnya ia tak dapat menguasai hatinya, bertanya.





Sin Lee juga kaget. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama hidup baru kali ini ia memondong wanita, jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatanpun belum pernah! Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya. Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada kesadarannya.

Segera ia berhenti berlari dan menurunkan gadis itu dari pondongannya, lalu memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tidak karuan ketika ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian, apalagi ketika ia bertemu pandang dengan sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu mampu menembus dada menjenguk isi hati.

“Eh… maaf… aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi… aku harus menyelamatkan Nona dari tangan kakek iblis itu,” katanya agak gugup.


Hui Cu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Banyak terima kasih atas pertolongan Saudara, akan tetapi… ah, mengapa Saudara kepalang-tanggung menolong kami? Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih disana? Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal.” Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.

“Eh, Nona… mau kemanakah kau?”

“Kemana lagi kalau tidak kembali kesana? Aku harus menolong adikku!” jawab Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari.

Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.
“Apa kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali.”

“Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama.”

Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar.
“Kau hebat, Nona. Inilah namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmupun boleh juga.”

Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu amat tinggi kepandaiannya itu.

“Ah, mana bisa dibandingkan dengan kau?”

Ia melirik, justeru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut tersenyum dan sekaligus dua buah muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.

“Eh, kemana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi….” kata Hui Cu.

Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan. Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat,

“Kau ikutilah aku!” lalu ia membelok dan memasuki hutan.

Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan pula oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Namun ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan dimana terdapat kelenteng tua itu,

Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu.
“Nona, kau bersembunyilah disini. Biar aku pergi menyelidiki kesana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba rampas adikmu itu.”

Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek yang sakti itu, maka ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih.

Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu, dan dengan hati senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup kedalam semak-semak, berloncatan diantara pohon-pohon mendekati kelenteng.

Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya, kadang-kadang pemuda itu melayang keatas pohon seperti seekor burung garuda saja sikapnya.

Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata,

“Nona, aku tidak melihat seorangpun diantara mereka disana. Kelenteng itu kosong sama sekali.”

Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat dan dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu menyerbu ke dalam kelenteng, mencari kedepan, kebelakang sambil memanggil-manggil nama Li Eng, namun sia-sia belaka, disitu sunyi tidak terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnyapun tidak nampak.
.
“Eng-moi… aduh Eng-moi…. bagaimana nasibmu….?”

Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, namun dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali.

Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, memandang kepada Sin Lee dengan sedih lalu berkata sambil membanting kaki,

“Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ah, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?”

Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-liang-san.

Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.

“Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu? Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau kau bisa beritahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek itu?”

“Aku sendiri tidak tahu.” Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya. “Ah… benar-benar nasib kami buruk, Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya ditangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula….”

“Paman Hong siapakah?”

Karena Sin Lee, dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai. Kemudian di tengah jalan bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja. Diceritakannya pula undangan Pangeran Kian Bun Ti yang mengakibatkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.

“Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong, kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini. kemudian kau datang menolongku.”






No comments:

Post a Comment