Ads

Monday, December 17, 2018

Rajawali Emas Jilid 088

Dua lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu cepat mengerahkan Iwee-kangnya untuk menahan guncangan pada jantungnya. Demikian pula Li Eng segera maklum bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli Iwee-keh yang amat tinggi kepandaiannya.

Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan, persis lengking yang keluar dari tenggorokan kakek itu.

“Ha, anak baik, lekas datang!” kakek itu berseru girang.

Bayangan yang melawan kakek itu tampak gelisah, lalu menyerang dahsyat lagi. Serangan yang amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang dan kedua kakinya menendang diudara.

Kakek itu berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya pula. Akibatnya kakek ini terguling karena ia terkena sebuah pukulan dan sebuah tendangan, sebaliknya bayangan itupun terhuyung karena pukulan keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menyambut Hui Cu pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti burung terbang cepatnya.

Kakek itu yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang telah menculik atau merampas seorang tawanannya, tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap Li Eng dan menyeret gadis ini kembali ke dalam kelenteng.

Setelah melempar gadis itu keatas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam. Kemudian ia berbalik memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali, sikapnya mengancam dan katanya dengan suara parau,

“Kau anak murid Hoa-san-pai sekarang kau akan merasai penghinaan sebesarnya, setelah itu kau mampus!”

Ia melangkah mendekat, Li Eng melejit dan hendak lari namun sekali sambar tangan gadis itu telah dipegangnya, Li Eng mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran. Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi, menjerit dan meronta.

“Kong-kong (Kakek), apa yang kau lakukan ini??” tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali dan tahu-tahu seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu.

Kakek itu melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan ngerinya tadi, kemudian kakek itu tertawa dan berkata,

“Akupun muak dan sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini. Kalau saja dia bukan anak murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul kubikin remuk kepalanya, habis perkara. Tapi dia anak murid Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang perempuan, semua adalah orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu persatu harus dibasmi, dihina lebih dulu baru dibelek dadanya dikeluarkan jantungnya.”

Pemuda itu melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian ia mendengus penuh kebencian.

“Hemm, Kong-kong, seperti dia inikah anak murid Hoa-san-pai pembunuh mendiang ibuku?”

“Ya ya, seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali. Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap dia, kau boleh hina dia, permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi, yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi… heh-heh, kebetulan kau datang, aku… aku muak dan sebal kalau harus menyentuh wanita… aku sudah tua.” Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan lenyap.

“Kong-kong dimana kita dapat bertemu kembali?”

Dari jauh terdengar jawaban sayup-sayup,
”…di Thai-san….”

Siapakah kakek aneh dan sakti ini dan siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong Bu? Kiranya pembaca yang sudah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia barat, seorang sakti yang berwatak aneh sekali dan kadang-kadang bisa bersikap kejam melebihi iblis.

Adapun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajar ilmu silat sehingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.





Tentu saja mudah diketahui sebabnya mengapa Song-bun-kwi bersikap sedemikian kejamnya terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada di kota raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota.

Di dalam hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-san-pai. Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-san-pai?

Oleh karena inilah, begitu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai dikota raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuh sebagai pembalasan dendamnya terhadap Hoa-san-pai!

Memang jalan pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis sendiri.

Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu saja iapun mempunyai watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak pendiam seperti ibunya, keras hati pula. Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya, diceritakan bahwa ibunya yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya “makan hati” dan meninggal dunia.

Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak mau membenci apa-apa yang “berbau” Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh kong-kongnya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh ayahnya yang berdosa terhadap ibunya!

Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis Hoa-san-pai. Dibawah penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya.

Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kata-kata kakeknya ini berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat siluman betina, iblis dalam tubuh seorang wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan.

Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini! Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikan kepada dia. Dia boleh berbuat sesuka hatinya terhadap gadis ini dan kemudian membunuhnya. Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya?

Sungguhpun pikiran Kong Bu tidak sampat kesitu, namun perasaannya membuat ia dapat menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju koyak itu.

Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut ditangan kakek gila tadi. Malah ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan.

Tapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil? Li Eng ragu-ragu. Kalau saja kedua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuknya agar suka membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya takkan sukar membunuhnya!

Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekalipun tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang laki-laki! Ia teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biarpun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini? Apakah masih terus hendak mengalah saja? Ah, bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki yang luar biasa pula? Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.

Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali, tapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh.

Akan tetapi seperti karet saja, ia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia tidak apa-apa. Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi. Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikitpun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang tebal itu bergerak-gerak.

“Kenapa kau menendangku? Benar-benar kau berhati curang, kenapa kau menendangku?”

Li Eng tertegun. Biarpun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguhpun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab?

“Hemmm,” katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat agar jangan kelihatan rasa takut dan gelisahnya, “Kenapa aku menendangmu? jawab dulu, kenapa kau menawanku?”

Kening pemuda itu makin berkerut
“Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai seperti kau. Maka sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu.”

Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biarpun ia sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, namun seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.

“Kau… kau pengecut besar!” tiba-tiba Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya.

Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu. Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan dapat menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat pengecut!

“Apa kau bilang? Pengecut? Aku…pengecut?” Suaranya gemetar saking marahnya. “Buktikan… setan kau, hayo buktikan kalau aku… pengecut!”

Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.

“Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh andaikata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apalagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah!”

Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang membuat Li Eng kaget dan serem. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan… belenggu yang mengikat Li Eng putus menjadi beberapa potong!

“Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo tarik kembali kata-kata pengecut tadi!”

Saking girangnya bebas, Li Eng untuk sejenak tak dapat menjawab, hanya menggosok-gosok pergelangan kedua tangan yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.

“Sudah bebas kedua tanganku! Eh, kau belum juga lari jatuh bangun?”

“Tidak sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo katakan, aku bukan pengecut!” teriak Kong Bu makin marah.

Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
“Apa? Kau tidak mau lari? Larilah, aku takkan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan tanganku dari belenggu.”






No comments:

Post a Comment