Ads

Saturday, December 15, 2018

Rajawali Emas Jilid 085

Akhirnya, Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya dan kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar, semua kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani kerabat istana.

Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang amat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini seringkali mengadakan hubungan.

Tan-taijin seringkali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin, Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak mempunyai keturunan, maka seringkali puteri tunggal Tan Beng San tinggal disitu sampai berbulan-bulan. Malah atas anjurannya, juga karena sayangnya ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis inipun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.

Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka setelah menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka lalu melaporkannya kepada Tan-taijin.

Mula-mula Tan-taijin mengomel ketika mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadl pengurus perpustakaan dan dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala tergesa-gesa menurutkan nafsu hati. tetapi ia segera tertarik sekali mendengar bahwa “pemuda kepala batu” yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran.

Tadinya iapun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali.

Ia cukup mengenal pendekar-pendekar wanita yang tidak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah pendekar-pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik.

Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.

Sebagai seorang tawanan, biarpun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, kedua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang. Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesaran karena ia sedang memeriksa seorang tahanan.

Amat gagahlah pembesar ini dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Benar-benar berwibawa setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.

Melihat seorang pemuda kurus dan tampak lemah digiring masuk, Tan-taijin merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang! Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segala.


Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,





“Orang muda, kau berdirilah!”

Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.

“Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakan semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu.”

Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan dalam hati Kun Hong. Namun, ketika pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang serem dan sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam ia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan.

Mendengar pertanyaan yang sekaligus mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat muka yang menunduk memandang lantai.

”Nama saya Kwa Kun Hong berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Kebetulan terdengar oleh Pangeran dan kami menerima undangan, Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa kedua keponakan saya menjadi selirnya dan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”

Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tidak takut ini, diam-diam Tan-taijin kagum juga. Apalagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong?

Pada saat itu, pintu di sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya.

Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tidak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.

“Pek-hu (uwa), kau tolonglah… aku, mendengar ada dua orang gadis muda jelita dari Hoa-san-pai ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!”

Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa disitu ada orang lain. Pemuda itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan,

“Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya? Yang sudah punya banyak ingin tambah terus, aku yang belum punya seorangpun tidak kebagian!”

Makin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.

Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya dan bertanya,
“Ah, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini? Apakah dia tukang colong ayam Istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!” Terang bahwa pemuda ini sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.

Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata,

“Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justeru dua gadis yang kau bicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah.”

Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk diatas bangku dan menumpangkan paha kiri ke atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas.

Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong.

“Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!” katanya memperlihatkan pedang itu.

Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga kepadanya. Kiranya pemuda ini yang dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.

Kening pembesar itu berkerut.
“Hemmm, menurut laporan kau seorang pemuda sastrawan yang lemah mengapa kau menyembunyikan pedang?”

Kini marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab,
“Pedang tetap pedang, benda yang tidak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, kenapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk… membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!”

Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!

“Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?”

Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, menggiris jantung, bukan karena keindahannya melainkan karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih.

Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Ia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal biasanya ia tenang dan sabar saja menghadapi segala sesuatu. Ketika bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.

Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tidak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala!

“Kwa Kun Hong” kata pula pembesar itu dengan suara keren, “Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal sudah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak menghormat putera Kaisar, dan tidak taat. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, mengapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?”

“Eh-eh, orang macam ini jadi raja pengemis?”

lagi-lagi terdengar pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar. Ia mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.






No comments:

Post a Comment