Ads

Thursday, December 13, 2018

Rajawali Emas Jilid 079

“Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan seenaknya.”

Pelayan kepala itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan, ada yang membawa arak, ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada yang mulai mengeluarkan masakan-masakan panas.

Para tamu lain yang berada disitu memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh kalau ada orang memborong masakan-masakan mahal, akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.

“Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong dan lain-lain binatang aneh itu,” bisik Li Eng.

Hui Cu mengangguk.
“Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai daging naga akupun rela mengorbankan gelangku.”

Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu. Tak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia diatas meja. Dengan selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan. Li Eng menggunakan Sumpit menjumputi daging dari setiap masakan untuk dicoba rasanya.

Ia terkikik lalu berkata,
“Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging naga ditim? Aku pernah makan daging ular kembang. Dan ini? Burung sorga apa? Ini kan hati burung dara dan kepala burung Hong? Setan, ini hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah? hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!”

Hui Cu juga tertawa kecil.
“Tak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini bumbunya lengkap dan enak sekali.”

Kun Hong juga tidak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua orang dara itu ia memberi komentar,

“Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik perhatian tamu, apalagi yang datang dari luar kota raja.”

“Tapi dia kurang ajar berani menipu kami,” kata Li Eng. “Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak usah bayar!”

“Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?” Kun Hong membentak. “Jangan kau mencari gara-gara. Apa tidak malu sudah makan membayar pukulan? Tidak boleh kau begitu!”

Li Eng bersungut-sungut.
“Biarlah gelangku ini untuk bayar,” kata Hui Cu.

“Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita,” kata pula Li Eng yang segera memberi isarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh.

Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan mulutnya segera berkata,

“Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?”

“He, muka babi! Kau anggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan membohong. Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung sorga dan ayam biasa kau sebut burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi. Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami, apakah kau sudah bosan hidup?”

Muka yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali. ditangkap maksudnya.

Namun Li Eng dapat mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu (Pangeran). Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada mereka, melainkan takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.

“Mana siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu? Memang nama masakan itu begitu….” demikian antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.





“Hemm, kau menyebut-nyebut Thaicu segala? Siapa itu?” akhirnya Kun Hong bertanya karena ia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.

Pada saat itu, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup kepalanya menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan memberi hormat kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu yang juga memandang dengan penuh perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap menghormat.

“Sam-wi yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang dimana Putera Mahkota sudah menanti. Kendaraan tamu siap menanti di luar.”

Karuan saja Kun Hong dan dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti.
“Apakah yang kalian maksudkan?” tanya Kun Hong. “Kami tidak mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapapun juga, tidak mengenal putera mahkota….”

Dua orang tua itu membungkuk lagi.
“Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat beliau mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu.”

Li Eng segera berkata kepada Kun Hong
“Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini, disini banyak yang aneh-aneh dan membingungkan.” Ia lalu mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada pelayan kepala, “Lekas hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini.”

Pelayan ini buru-buru menggerakkan tangannya menolak.
“Ah, bagaimana Sio-cia (Nona) hendak membayar? Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua sudah beres oleh Thaicu.”

Tiga orang muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu. Kenapa putera mahkota begitu memperhatikan mereka. Sejak kapankah mereka kenal dengan putera mahkota?

“Li Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita menolak kebaikan orang. Dia menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat kesempatan melihat keadaan istana dari dalam? Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak menerimanya?”

“Pendapat yang bijaksana sekali!” seorang diantara dua pembesar itu berkata girang. “Marilah, Kongcu dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan.”

Kun Hong mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja sebuah kereta yang amat indah dengan dua ekor kuda telah menanti di depan. Seorang diantara dua pembesar itu membukakan pintunya dan mempersilakan tiga orang “tamu agung” itu memasuki kereta.

Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong naik dan diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu dan hanya terpaksa menurut karena didahului oleh paman mereka. Andaikata tidak ada Kun Hong disitu, sudah pasti Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima undangan orang.

Setelah mereka semua duduk di dalam kereta, dua orang “pembesar” itu segera mengambil tempat kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah kusir kereta dan keneknya!

Merah muka Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah makan ia mengira bahwa mereka adalah dua orang “pembesar” dari istana. Kiranya hanya kusir dan keneknya! Malu ia kalau melirik kearah pakaiannya sendiri yang patut membuat ia disebut orang jembel.

Di dalam kereta yang serba indah dan bersih itu, tiga orang muda ini duduk saling berpandangan dan sampai lama tidak membuka mulut. Betapapun tenangnya, hati Kun Hong berdebar juga kalau mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan putera mahkota! Apalagi dua orang gadis itu yang tampak gelisah sekali.

“Paman Hong,” akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, “Mengapa kau menerima undangan ini? Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap kita….”

“Jangan curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu saja Kaisar sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang kita, berarti kita sebagai tamu diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya kalau kita mendapat kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan berkesempatan pula melihat-lihat keadaan kota dalam Istana Kembang? Ah, kelak tentu kalian akan bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini.”

Li Eng dan Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing. Memang menegangkan hati sekali perjalanan ini bagi mereka, akan tetapi juga mereka berdua merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan.

Persamaan pendapat ini hanya mereka utarakan dengan pertukaran pandang mata. Hanya Kun Hong yang duduk enak-enak, nampaknya ayem dan tenang saja, malah sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira.

Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Di sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, dimana ditanam segala macam bunga. Disana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.

Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, tiga orang muda asal pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.

Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar datang menyambut,

“Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat dimana Thaicu sudah menanti,” begitulah kata mereka dan seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana.

Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat disitu. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghias ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai.

Bukan main! Li Eng yang biasanya bebas dan tak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kinipun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong.

Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki gua macan! Hanya Kun Hong yang biarpun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikitpun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu.

Di setiap lorong atau ruangan baru berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka, Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya berada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi kembang-kembang.

Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.

Seorang laki-laki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya melamun. Usianya sebaya Kun Hong, tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambutnya yang hitam keluar dari bawah topi didiamkannya saja.

“Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!” seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut. Pelayan itu sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, “Harap Sam-wi berlutut memberi hormat.”






No comments:

Post a Comment