Ads

Thursday, December 13, 2018

Rajawali Emas Jilid 076

Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu takkan kalah maka iapun lalu menghampiri Sun-lokai dan menudingkan telunjuknya kearah hidung pengemis yang agak bongkok itu.

“Apa kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak kau?”

Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biarpun tua dan bongkok, Sun-lokai mempunyai watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hatinya sudah berdebar tidak karuan.

“Li Eng, kaupun tidak boleh membunuh orang!”

Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng. Ia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu, maka ia benar-benar kuatir kalau-kalau “keponakan” ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.

Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba terhadap rajanya sambil berkata,

“Hamba mentaati perintah Paduka Paman Raja!”

Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru kaget,

“Li Eng, awas belakangmu!”

Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun-lokai sudah menerjang maju menusukkan pedangnya ke punggung gadis itu. Hwa-i Lo-kai membentak marah dan kaget menyaksikan ini, juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan menewaskan Li Eng.

Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu.

Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apalagi ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun-lokai!

Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai maupun Sun-lokai berada dipihak yang terdesak hebat. Juga Beng-lokai amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu.

Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena semenjak Li Eng menghadapinya, ia sama sekali tidak dapat balas menyerang, melainkan harus menangkis dan mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali.

Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tidak berhenti sampai disitu saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya.

Sun-lokai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya terus. Bahkan ketika ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi “tar-tar-tar!” melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan! Dan pada saat itupun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.

“Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!”

Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau kedua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.

Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa dua orang gadis keponakan “ketua baru” itu benar-benar lihai sekai, apalagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.

“Hwa-i Lo-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!” terdengar beberapa suara orang dan ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah.





“Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-i Kai-pang, boleh datang ketempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!”

Hwa-i Lo-kai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam kearah para rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi.

Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah ketika ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kai-pang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk bergabung dengan perkumpuan-perkumpulan lain.

“Hwa-i Lo-kai harap jangan berduka,” kata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. “Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kai-pang. Karena mereka tidak mempunyai harapan untuk menjadi ketua disini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi orang-orang seperti itu. Sekarang aku minta diri, Lo-kai, karena aku harus pulang ke Hoa-san.”

Hwa-i Lo-kai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal disitu beberapa hari lagi akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i Lo-kai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu.

Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda berhenti. Hui Cu dan Li Eng segera menahan kuda masing-masing.

“Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda,” kata Kun Hong.

Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah.

“Paman Hong ini bagaimana sih? Perjalanan kita amat jauh, menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?”

“Kau anak kecil tahu apa?” Kun Hong membentak. “Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kai-pang lebih membutuhkannya daripada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan bisa berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja.”

“Ah, Susiok (Paman Guru) aneh sekali… orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?” lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir cemberut.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat dijalan itu. Kun Hong segera memanggilnya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena iapun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.

“Pangcu hendak memerintah apakah?” tanyanya.

“Lo-kai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lo-kai, katakan bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah.”

Sejenak pengemis itu terlongong, akan tetapi ia tidak berani membantah lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Tapie-san.

Adapun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan.

“Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis,” kata Kun Hong.

Makin meruncing bibir Li Eng.
“Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu perlahan-lahan. Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita takkan bisa pulang ke Hoa-san!”

Kun Hong tersenyum menggoda.
“Biar sampai sepuluh tahun, melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku takkan menjadi bosan.”



“Iihhh, dasar….” Li Eng melerok.

Hui Cu yang sejak tadi diam saja sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu,

“Paman agaknya belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san.”

“Heee….?? Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?” Kun Hong bertanya dengan tercengang.

“Kalau dia raja, kaupun raja, Paman Hong,” kata Li Eng sudah gembira kembali dari kecewanya kehilangan kuda. “Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Tai-hiap itu Raja Pedang, kau adalah Raja Pengemis!”

Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda.
“Bagus, bagus, kaupun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng, jangan main-main lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian kesana?”

Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam.
“Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh… eh, melamar untuk Paduka Paman Raja.”

“Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!”

Hui Cu menegur. Li, Eng tersenyum lebar dan memandang kepada Kun Hong sambil berkata,

“Apa salahnya, Cu-cici? Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani monggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?” pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.

Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,

“Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kau ceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san.”

Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita,
“Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap di Thai-san-pai hendak meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira disini bertemu dengan Susiok.”






No comments:

Post a Comment