Ads

Sunday, December 9, 2018

Rajawali Emas Jilid 071

Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri.
“Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!”

Ia nampak bersemangat dan gembira, tidak melihat betapa muka Kun Horng sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.

“Waaahhh…. jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apapun!”

Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.

“Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia telah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya akhirnya aku tahu bahwa dia telah berganti nama… ha-ha-ha… berganti nama menjadi Hwa-i Lo-kai ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Ha-ha-ha, manusia she The, kemana pun kau bersembunyi, pasti akan terpegang kau olehku.”

“Kau salah, Kek. Betapapun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum, karma yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia.”

“Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku membunuhnya karena aku hendak mencari kebahagiaan, kau tahu? Tak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan, seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apapun kulakukan, samadhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Omong kosong seorang kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau memiliki harta benda sebanyaknya!”

Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!

Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, lalu mengangguk-angguk, tidak heran melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.

“Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu.”

“Bagus, kau sependapat, kalau kau menyayangkan emas tadi, kaupun akan kulempar ke dalam jurang itu!”

Kakek aneh itu berkata lagi.
“Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau memiliki kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi? hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?”

Kakek itu menoleh ke kiri, tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!

“Apakah ini yang dapat mendatangkan bahagia? Celaka, si manusia sombong. Kalau penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!”

Diam-diam Kun Hong terkejut dan sama sekali tidak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini, ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

Sekali remas saja batu hitam hancur lebur, wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.

“Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak dalam ilmu kepandaian atau kesaktian.”


“Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?”





“Betul tidak dalam kedudukan dan pangkat”

“He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah maran-marah, jengkel, bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya? Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?”

“Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan, akan tetapi agaknya kau sendiripun sedang mencari kebahagiaan. Kenapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”

“Heh-heh-heh, kau baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, akupun mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Sekarang aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah dalam hatiku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku sudah berhasil membunuh si manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?”

Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang lalu menggeleng-geleng kepalanya.

“Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apabila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku disaat ini,”

Diwaktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Mula-mula kakek itu melengak heran, selalu merah mukanya dan ia menjadi marah sekali.

“Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok.”

“Apa boleh buat kalau kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu takkan dapat menemui kebahagiaan.”

“Keparat kau kurang ajar sekali akan tetapi… hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. He, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?”

“Aku yakin akan hal ini, Kek. Apalagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhuku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena terlampau banyak membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua dan anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?”

Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya,

“Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya karena banyak membunuh orang?”

“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhuku, hanya membaca kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya, dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya.”

“Dia….? Bu Beng Cu….? Kau muridnya??”

Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong. Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.

“Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya? Dia itu suhengku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau betul kau telah mewarisi tulisan-tulisan harap kau jejaskan bagaimana bunyi peninggalannya itu!”

Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!

“Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa perbuatan itu baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku yang tidak bisa memberi kehidupan bagaimana aku berhak mengakhirr kehidupan? Aku berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapapun jahatnya si manusia itu, bukanlah berbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula. Nah, begitulah tuiisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek.”

Kakek itu terlongong kembali, tiba-tiba ia berkata,
“Keluarkan pedangmu itu, hendak kulihat apakah benar pedang suhengku!”

Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang ia sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan ia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!

“Ah… Ang-hong-kiam… Ang-hong-kiam…. ah, Twa-suheng… jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan… meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini….”

“Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe,” kata Kun Hong yang sekarang menyebut locianpwe karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu yang wataknya aneh sekali. “Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, setelah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, maka kalau kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!”

Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, kini memandang kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.

“Kau betul… orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ah… selamanya suhengku itu memang bijaksana…. agaknya kau mewarisi kebijaksanaannya … memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku kemana aku harus mencari kebahagiaan!”

Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.

“Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau takkan membunuh orang bernama The Kok itu.”

“Baik… baik… setelah mendengar pesan Suheng, aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberitahukan kepadaku kemana aku harus mencari kebahagiaan.”






No comments:

Post a Comment