Ads

Tuesday, December 4, 2018

Rajawali Emas Jilid 069

Tidak hanya dalam soal usaha memperbaiki nasib para pengemis, juga dalam organisasi sendiri, makin lama perkumpulan ini menjadi makin kuat. Makin banyak saja pemuda yang tinggi ilmu silatnya dan ini boleh dibilang semua telah menjadi murid Hwa-i Lo-kai.

Tentu saja para pengurus ini tadinya memang sudah memiliki kepandaian dari macam-macam aliran, akan tetapi setelah mereka menggabungkan diri di Hwa-i Kai-pang, dan menyaksikan sendiri betapa tingginya ilmu silat ketuanya, mereka lalu minta diberi pelajaran ilmu silat.

Ketua Hwa-i Kai-pang ini selalu suka menurunkan kepandaiannya dan ia mengajarkan beberapa ilmu pukulan yang ia sesuaikan dengan watak dan keadaan jasmani si murid. Makin lama makin banyaklah anggauta Hwa-i Kai-pang yang mendapatkan kemajuan hebat dalam kepandaian ilmu silat mereka. Malah kemudian hampir tidak ada seorangpun anggauta pengurus yang tidak berilmu tinggi.

Hwa-i Lo-kai sendiri maklum bahwa diantara perkumpulan pengemis yang amat banyak itu, tidak jarang merupakan perkumpulan pengemis palsu yang sesungguhnya lebih patut disebut perkumpulan penjahat. Juga ia tahu betapa perkumpulan-perkumpulan jahat ini mengandalkan kekerasan, tidak hanya melakukan pemerasan terhadap penduduk, juga kadang-kadang berani menindas perkumpulan lain yang lebih lemah.

Karena itu, kakek ini melihat betapa pentingnya bagi perkumpulan yang dipegangnya untuk memperkuat diri dengan pengurus-pengurus yang pandai ilmu silat. Ini pulalah yang membuat ia lalu mulai mengadakan susunan dalam pengurusnya, membagi-bagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kepandaian mereka.

Untuk membedakan tingkat kepandaian ilmu silat, ia mengadakan percobaan lalu memberi tanda tingkat pada para muridnya itu. Tanda tingkat ini merupakan tali ikat pinggang berwarna putih dari serat biasa. Makin banyak tali ini mengikat pinggang seorang pengemis Hwa-i Kai-pang, makin tinggilah tingkat ilmu silatnya.

Diantara para pengurus dan pembantu ketua itu, rata-rata hanya memiliki empat helai ikat pinggang. Jumlahnya ada dua puluh orang lebih. Yang memiliki lebih dari empat helai amat jarang. Yang paling tinggi tingkatnya diantara mereka hanya tiga orang. Mereka ini telah mempunyai tujuh helai tali putih yang mengikat pinggang mereka.

Tiga orang inilah yang dalam segala hal mewakili Hwa-i Lo-kai dan mereka boleh dibilang sudah memegang seluruh urusan perkumpulan itu sebagai wakil ketua. Mereka adalah Coa-lokai, Beng-lokai, dan Sun-lokai.

Lokai artinya “pengemis tua” akan tetapi sebutan ini dalam perkumpulan itu berarti menghormat, karena yang berhak menyebut diri lokai hanyalah ketua mereka dan tiga orang tangan kanan inilah! Jadi panggilan lokai ini seakan-akan merupakan panggilan penghormatan seperti lajimnya sebutan “yang mulia” dan “paduka”! Memang dalam perkumpulan yang aneh ini banyak terdapat aturan dan hal-hal aneh pula.

Sudah dapat dibayangkan bahwa kalau Hwa-I Lo-kai mengundurkan diri, calon penggantinya tentulah seorang diantara tiga kakek ini. Hal ini tidak hanya menjadi pendapat para anggauta, malah juga pendapat orang-orang luar dan juga demikianlah kata hati tiga orang itu sendiri.

Oleh karena itu, diam-diam seperti ada persaingan diantara mereka dan secara diam-diam pula tiga orang pembantu ini mendekati para anggauta dan sedapat mungkin menarik sebanyak-banyaknya sahabat agar mendukungnya dalam “pemilihan umum” itu nanti. Sudah bukan hal aneh lagi apabila mereka ini menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk kepada para anggauta yang suka memilihnya.

Pagi hari pada waktu pemilihan, di pekarangan yang amat luas didepan rumah pertemuan Hwa-i Kai-pang, para anggauta sudah berkumpul. Pengemis-pengemis berpakaian baju kembang yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya duduk di belakang ketua dan para pengurus mereka.

Adapun para tamu merupakan kelompok-kelompok yang duduk diatas tanah juga, menghadap tuan rumah. Ada kelompok pengemis berpakaian hijau, merah, hitam, putih dan lain-lain yang dipimpin oleh ketua atau wakil masing-masing. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi kursi, bangku ataupun meja dan semua yang hadir duduk begitu saja diatas tanah, ada yang bersila, ada yang berjongkok.

Hwa-i Lo-kai tampak duduk bersila sambil meramkan mata. Dia adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus, rambutnya yang panjang tidak terawat, pakaiannya berkembang sederhana, terdapat tiga tambalan di pundak dan dada. Pinggangnya diikat dengan tali putih terbuat dari sutera. Di pinggang kiri tergantung sebuah guci arak dari perak dan ia tidak kelihatan membawa senjata,

Disebelah kanannya duduklah tiga orang pembantunya yang terkenal, yaitu Coa-lokai yang bertubuh tinggi besar bermata lebar dan gerak-geriknya kasar. Beng-lokai orangnya gemuk pendek berkulit kuning bermata sipit, tersenyum-senyum gembira. Sun-lokai orangnya kecil agak bongkok, matanya tajam bergerak kesana kemari.

Tiga orang pembantu ini semua memakai baju berkembang dengan ikat pinggang tali putih tujuh helai membelit pinggang. Berbeda dengan Sang Ketua, ketiga orang ini masing-masing memanggul sebatang pedang di punggungnya.





Para pembantu lain yang lebih rendah tingkatnya, yaitu yang bertali pinggang enam ada dua orang, yang bertali pinggang lima ada tujuh orang dan sebelas orang bertali pinggang empat duduk di sebelah kiri ketua ini dengan sikap menghormat.

Keadaan disitu cukup ramai. Biarpun semua orang sudah duduk diatas tanah tak seorangpun kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang berbisik-bisik sehingga tempat itu menjadi berisik juga.

Akhirnya Hwa-i Lo-kai membuka kedua matanya, memandang kekanan kiri lalu ia mengangkat tangan kanannya keatas. Siraplah suara berisik dan semua orang memandangnya dengan penuh perhatian.

“Saudara para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggauta Hwa-i Kai-pang yang tercinta. Tak kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kai-pang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, terus terang saja untuk menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh pribadi….”

Kembali keadaan menjadi berisik, terutama di kalangan anggauta Hwa-i Kai-pang yang banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, mengapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kai-pang amat kuat, siapa berani mengganggu ketuanya?

Kembali Hwa-i Lo-kai mengangkat tangannya memberi isyarat supaya semua orang jangan berisik.

“Urusan ini adalah urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan kedalam urusan pribadi, juga aku tidak mau menyeret musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini kuselesaikan sendiri sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang lega hatiku karena saudara semua sudah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari yang telah kulakukan.”

Kembali para anggauta Hwa-i Kai-pang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.

“Saya tidak setuju dengan uraian Lo-kai! Selama saya membantu Lo-kai, tidak pernah satu kalipun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi sekali ini terpaksa saya tidak setuju! Lo-kai tidak saja menjadi ketua, bahkan menjadi pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Oleh karena itu segaia urusan Hwa-i Kai-pang adalah urusan Lo-kai, sebaliknya urusan Lo-kai berarti juga urusan semua anggauta Hwa-i Kai-pang! Kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada aturan sekarang Lo-kai hendak meniggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Kalau ada musuh Lo-kai, katakan saja siapa dan dimana, saya Coa-lokai takkan mundur untuk mewakili Lo-kai, biarpun nyawaku yang tak berharga ini akan melayang karenanya!”

Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang kesana kemari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.

Hwa-i Lo-kai menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Coa-lokai, terima kasih atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang selalu kupertahankan belasan tahun lamanya. Ya… aku telah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan nama Hwa-i Lo-kai. Dahulu…. hemmm, sekarang tiba saatnya aku meninggalkan sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok.”

Semua pengemis dan yang hadir disitu, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amatlah terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi.

Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga ia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lo-kai, semua orang menjadi berisik, ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kai-pang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok.

Akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biarpun seorang perampok, nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tidak sembarang merampok orang. Yang menjadi sasaran dan korbannya adalah pembesar-pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil perampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.

Hwa-I lo-kai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap.

“Nih, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang. Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku sudah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kai-pang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang tepat.”

Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya ia berkata,

“Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar pemilihan dapat dilakukan segera.”

“Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertigalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa diantara kalian bertiga terserah kepada para anggauta,” jawab Ketua itu.

“Saya tidak setuju…!” Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. “Setetah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga mempunyai seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biarpun sekarang lokai menghadapi urusan itu dan saya percaya Lo-kai akan dapat mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lo-kai dapat kembali memimpin perkumpulan kita?”

“Heh, Coa-lokai banyak cerewet!”

Terdengar suaranya yang parau dan seperti kaleng dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam.

“Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya apabila seorang anggauta membangkang terhadap perintah?”

Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi.

“Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggauta yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, biarpun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang diantara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali memilih ketua baru selama Lo-kai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?” Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya.

“Hemm, Pangcu mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiripun, kalau kau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua.”

“Aku tidak sudi selama Lo-kai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan tidak sudi membiarkan seorang diantara kamu menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang. Apalagi seorang seperti kau!”

Coa-lokai menudingkan telunjuknya kearah muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi merah sekali.

“Berani kau menghinaku di depan banyak orang?”

“Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan akupun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau.”






No comments:

Post a Comment