Ads

Tuesday, December 4, 2018

Rajawali Emas Jilid 066

Kun Hong dibawa terbang jauh sekali oleh rajawali emas, Burung ajaib ini semenjak meninggalkan Lu-liang-san tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu di puncak sebuah bukit yang tak pernah didatangi manusia.

Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini dan tidak seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong, sekarang ia bebas lepas dan pergi kemana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong. Binatang ini memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang melepas budi kepadanya, ia tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau ia disakiti, iapun akan membenci yang menyakitinya.

Tanpa disengaja Kun Hong telah memberi katak putih yang segera dikenal oleh burung ajaib ini dan ditelan, maka selamatlah ia dari racun hebat yang melukai kakinya. Pertolongan ini membuat ia amat suka dan setia kepada Kun Hong dan sekarang ia hendak membawa pemuda itu terbang ke tempat tinggalnya, di puncak sebuah bukit yang dijaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala Naga. Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari barat memang menyerupai bentuk kepala naga.

Kun Hong tidak tahu kemana ia akan dibawa oleh burung itu. Anehnya, pada waktu tengah hari dan malam, burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta lagi lalu mencarikan buah-buahan yang segar dan enak untuk pemuda itu.

Tentu saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik, apalagi selamanya ia tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal yang amat aneh. Biarpun ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi ayah Kwa Hong, namun Kun Hong belum pernah diceritakah tentang kakak perempuannya lain ibu itu, maka iapun tidak pernah mendengar tentang adanya rajawali emas.

Para tosu Hoa-san-pai yang sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada yang pernah bercerita tentang peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-san-pai itu. Andaikata ia pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu Hoa-san-pai naik rajawali emas, kiranya pemuda ini akan dapat mengenal burung itu.

Setelah lewat lima hari, sampailah burung rajawali emas itu ke puncak gunung Kepala Naga. Ia menukik ke bawah dan Kun Hong merangkul leher burung, mencengkeram kalung mutiara itu sambil meramkan matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat betapa dia dan burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak tertumbuk kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang menganga seperti mulut harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan golok.

Setelah burung itu hinggap diatas tanah barulah ia berani membuka kedua matanya. Alangkah herannya ketika ia melihat bahwa burung rajawali itu telah berdiri di depan sebuah gua yang bentuknya seperti mulut naga. Gua batu itu amat lebar dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tak mungkin dapat mendatangi tempat ini.

Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan gua, amat indahnya, seakan-akan dunia terletak di bawah kaki gua, Kun Hong segera melompat turun dari punggung rajawali. Ia mendekati gua, akan tetapi tidak berani masuk karena ia merasa seakan-akan ia berdiri di depan tempat tinggal seseorang sehingga ia tidak berani masuk begitu saja tanpa perkenan si pemilik tempat tinggal!

Akan tetapi tiba-tiba burung itu mengeluarkan bunyi perlahan dan dari belakangnya burung itu mendorong punggungnya perlahan-lahan, seakan-akan hendak menyuruh pemuda itu memasuki gua.

Karena kemudian dapat menduga bahwa tak mungkin didalam gua yang letaknya demikian sukar dapat didiami manusia Kun Hong lalu memasukinya. Ia terheran-heran melihat bahwa didalam gua itu terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah ruangan tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu akan tetapi bentuknya jelas adalah buatan manusia!

Dengan hati berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapapun ia mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikitpun tidak! Tiba-tiba terdengar burung itu bersuara di belakangnya, kemudian dengan sayap kanannya burung itu mendorong perlahan dan… pintu batu itu terbuka!

“Tiauw-ko, kau benar-benar kuat sekali!” Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya ketika ia melangkah masuk.

“Locianpwe (sebutan untuk orang tua pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi mengampuni kelancanganku ini.” katanya dengan bisikan perlahan dan mulailah ia merasa serem karena didalam kamar batu ini ia melihat sebuah meja sembahyang!

Tempat lilin yang amat kuno terletak dikanan kiri ujung meja dan diatas dua tempat lilin ini masih tertancap dua batang lliin merah. Lilin-lilin itu tidak menyala, akan tetapi lilin yang meleleh bekas terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan.





Ketika Kun Hong mendekati, tampak nyata olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang laba-laba. Di tengah-tengah meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali. Melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera menyambar kitab itu untuk dibacanya, akan tetapi karena semenjak kecil ia dijejali pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani melakukan hal itu.

Karena keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang lalu berkata keras-keras,

“Locianpwe pemilik kitab diatas meja, harap sudi memberi perkenan kepada teecu untuk mengambilnya dan membaca isinya.”

Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata ini sambil membentur-benturkan jidatnya kepada lantai untuk memberi hormat kepada pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati itu.

Ketika ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya diatas lantai depan meja sembahyang itu, matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil dibawah meja. Ukiran huruf-huruf itu demikian kecilnya sehingga kalau orang tidak mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya takkan dapat melihatnya.

Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan bacaan, apalagi kalau huruf-huruf itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat indahnya. Ia segera membacanya,

Dapat masuk berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan dan murid yang baik. Untuk ambil kitab singkirkan anak-anak panah di bawah meja. Setelab hafal kitab baru ambil pedang di kamar samadhi.

Beberapa kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat itu ditujukan kepadanya! Setelah jelas akan pesan dalam surat berukir yang aneh itu, ia lalu melongok ke bawah meja dan betul saja dibawah meja itu tersembunyi tiga batang anak panah yang dipasangi per sehingga kalau ada orang mengambil kitab diatas meja itu, per akan menggerakkan tiga batang anak panah tadi yang tentu akan tertendang dan menyerang orang yang berdiri di depan meja.

Karena anak-anak panah itu akan menyerang dari bawah meja, kiranya tak mungkin orang akan dapat menghindarkan penyerangan gelap yang amat dekat ini. Kun Hong bergidik dan cepat-cepat ia mengulur tangan mengambil tiga batang anak panah itu. Tercium bau yang harum dan di ujung tiga batang anak panah itu berwarna hijau.

Pemuda ini dapat menduga bahwa ujung anak panah itu tentu diberi racun yang amat berbahaya. Dengan jijik ia lalu menaruh tiga batang anak panah itu di atas meja, lalu ia memberi hormat lagi sambil berkata,

“Terima kasih atas kepercayaan dan petunjuk Locianpwe.”

Ia lalu mengulur tangan mengambil kitab kuno itu dari tengah meja dan pada saat itu terdengarlah jepretan per dibawah meja. Biarpun sudah dapat menduga akan hal ini dan sudah yakin bahwa anak panah itu telah ia singkirkan, namun kaget jugalah Kun Hong mendengar jepretan ini.

Dilihatnya bahwa dibawah kitab tadilah yang menghubungkan per-per itu sehingga apabila kitab diambil per-per itu bekerja dibawah meja. Ah, kalau tadi ia berlaku lancang dan terus saja mengambil kitab itu sudah dapat dipastikan bahwa berbareng pada saat terdengar suara menjepret, ia akan roboh telentang dengan tiga anak panah tertancap di perutnya!

Dengan kitab di tangan, Kun Hong cepat-cepat memberi hormat lalu keluar dari kamar itu. Ternyata setibanya di ruangan depan, rajawali emas telah menantinya dan burung ini telah memperoleh banyak sekali buah-buahan, malah diantaranya terdapat seekor kelinci yang sudah mati.

“Aduh, kau mendapatkan kelinci gemuk? Sayang, Tiauw-ko, bagaimana kita akan dapat memakannya?”

Burung itu lalu mendorong Kun Hong ke pojok ruangan dimana terdapat sebuah batu halus rata berbentuk meja. Disitu bertumpuk rumput-rumput kering dan dengan paruhnya burung luar biasa ini mengambil sedikit rumput kering, di taruhnya di atas meja. Kemudian ia menggerakkan kepalanya, paruhnya runcing dan keras seperti baja itu memukul pinggir meja dan… bunga api berpijar.

Kun Hong girang sekali dan pemuda yang cerdik ini segera dapat menangkap maksud si burung. Ia cepat mengambil rumput kering lagi dan menaruh dekat pinggiran meja. Beberapa kali burung itu memukul batu itu dengan paruhnya dan akhirnya bunga api- menyentuh rumput kering dan terbakarlah rumput itu. Dengan cara demikian Kun Hong dapat membuat api unggun dan dapat memanggang daging kelinci.

Setelah makan kenyang, pemuda itu mulai membuka-buka lembaran kitab kuno tadi. Pada lembar pertama terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang berbunyi:

SALINAN IM YANG BU TEK CIN KENG.

Karena ia tidak tahu apa itu artinya Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kun Hong membuka lembaran kedua dan segera ia amat tertarik membaca tulisan yang bersifat keluhan dan penjelasan. Tulisan itu berbunyi demikian,

“Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa perbuatan itu baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat, Anggapan yang sesat! Aku tidak bisa memberi kehidupan bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapapun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula.”

Sampai disini Kun Hong menarik napas panjang lalu mengangguk-angguk. Betul sekali Locianpwe ini, soal mati dan hidup manusia bukanlah urusan manusia, melainkan Yang Maha Kuasa. Membunuh orang lain, bukankah melancangi dan mendahului Tuhan itu namanya? Sayang, agaknya Locianpwe ini baru sadar setelah melakukan pembunuhan ratusan kali. Ia membaca terus tulisan yang merupakan permulaan isi kitab itu.

“Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat sakti, tiada keduanya di dunia ini. Orang macam aku mana dapat menyalinnya? Pengertianku terbatas dan salinanku tentu banyak menyeleweng. Karena itu aku hanya menyalin apa yang kuketahui saja dan kucampur dengan gerakan-gerakan burungku rajawali emas. Karena itu maka ilmu dalam kitab ini kuberi nama Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Muridku yang membaca kitab ini harus bersumpah dalam hatinya bahwa ke satu dia tidak boleh membunuh sesama manusia dengan alasan apapun juga. Kedua dia tidak boleh mempergunakan ilmu ini untuk menyerang orang. Ketiga ilmu Kim-tiauw-kun ini hanya untuk membela diri dari serangan orang, dan hanya terbatas untuk mengalahkan lawan saja”

Kun Hong makin tertarik.
“Bagus”, pikirnya. “Inilah ilmu yang baik sekali. Aku sendiri paling benci melihat pembunuhan antara sesama manusia. Kalau aku dapat mempelajari ilmu ini, kiranya aku akan mampu mencegah orang-orang berkepandaian main hakim sendiri membunuhi orang sesuka hati. Kalau ada orang jahat, gunakan kepandaian untuk mengalahkannya dan menangkapnya untuk diserahkan kepada yang berwajib agar dijatuhi hukuman. Bagus sekali! Locianpwe, teecu bersumpah akan memenuhi semua syarat itu.”

Semenjak saat itu, dengan tekun Kun Hong membaca kitab yang berisi pelajaran ilmu silat sakti itu. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa secara tak sengaja atau sadar ia telah mewarisi ilmu silat yang bukan main hebatnya, yang hanya setaraf dengan Im-yang Sin-hoat karena dari satu sumber. Ia tidak tahu pula siapa gurunya, siapa penulis kitab itu yang hanya menandai dengan tiga buah huruf berbunyi Bu Beng Cu yang artinya TIADA NAMA!

Di samping membaca kitab Kim-tiauw-kun ini, tidak lupa Kun Hong yang dengan girang mendapat kenyataan bahwa tiga buah kitab milik Yok-mo masih berada di saku jubahnya, membaca pula tiga buah kitab pengobatan itu. Pengetahuannya tentang perjalanan darah yang secara lengkap tertulis di dalam kitab Yok-mo, memperlancar pengertiannya terrhadap isi kitab Kim-tiauw-kun.

Kun Hong memang memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam waktu setahun lebih saja ia sudah mampu membaca habis empat buah kitab itu, tidak hanya membaca habis, malah sudah dapat menghafalnya di luar kepala!

Tentu saja, ilmu silat tidak dapat disamakan dengan ilmu pengobatan yang cukup dihafal, melainkan harus dilatih dalam praktek. Karena di dalam kitab Kim-tiauw-kun itu terdapat peringatan bahwa si murid harus betul-betul menyempurnakan latihan gerakan kaki, maka Kun Hong juga melatih dirinya dalam pergerakan ini, dalam langkah-langkah ajaib yang kadang-kadang membuat kepalanya pening dan mau muntah-muntah.

Baiknya kalau ia sedang bergerak seperti itu, burung rajawali tentu dengan mengeluarkan suara girang mendekatinya dan bergerak-gerak persis seperti langkah-langkah dalam pelajaran itu, sengaja memberi contoh kepadanya!






No comments:

Post a Comment