Ads

Sunday, November 25, 2018

Rajawali Emas Jilid 049

Hati siapa takkan ikut merasa bahagia menyaksikan kebahagiaan sepasang orang muda seperti Li Cu dan Beng San? Hati siapa takkan ikut merasa senang melihat orang lain bahagia? Hanya hati yang dikotori iblis iri cemburu jua yang tak tahan menyaksikan orang lain berbahagia.

Untung, di dunia ini tak banyak orang demikian. Kita merasa berbahagia melihat orang lain seperti sepasang orang muda itu berbahagia dalam pertemuan dua hati menjadi satu, diikat dan dikekalkan oleh cinta kasih nan suci.

Sayang, di samping mereka yang berbahagia oleh asmara, banyak pula yang sengsara oleh asmara yang sama. Memang asmara mendatangkan bahagia dan sengsara silih berganti, menimbulkan banyak cerita yang aneh-aneh. Beng San sendiri hampir saja binasa karena asmara kandas, baiknya ia bertemu dengan Li Cu dan sebaliknya malah menemukan kembali kebahagiaan hidup.

Memang demikianlah hidup di dunia ini. Kebahagiaan duniawi takkan kekal, berubah-ubah dan hal yang demikian ini memang berlaku bagi segala benda, mati atau hidup, di dunia ini. Ada siang ada malam, ada dingin ada panas, adakalanya hujan adakalanya terang, adakalanya sengsara adakalanya bahagia.

Kebahagiaan datang tak terduga-duga seperti halnya kebahagiaan Beng San. Demikian pula kesengsaraan datang tanpa disadari seperti halnya penderitaan Bi Goat yang telah tiada. Kenyataan ini merupakan pelajaran hidup yang amat penting, yaitu bahwa manusia tak perlu berputus asa di waktu menghadapi kegagalan, juga tidak semestinya bangga dan tidak mabok dikala mendapatkan kemenangan. Tidak membanjir di waktu pasang, tidak kering di waktu surut, seperti air laut yang tenang teguh sehingga dapat menerima perubahan keadaannya tanpa rnenderita kerusakan.

Diantara sekian banyaknya orang yang sedang “surut” nasibnya, adalah Thio Ki. Telah diceritakan di depan betapa Thio Ki dan isterinya, Lee Giok, diserbu oleh Kim-thouw Thian-li yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin sehingga akhirnya Lee Giok terculik oleh Siauw-coa-ong Giam Kin.

Seperti kita ketahui, Thio Ki terbebas daripada kematian karena mendapat bantuan Li Cu dan kemudian Beng San dan atas permintaan Beng San, Thio Ki pergi ke Hoa-san untuk berobat dan membereskan urusan Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.

Besarlah hati para tosu di Hoa-san-pai ketika mereka melihat munculnya Thio Ki, karena pada waktu itu Hoa-san-pai benar-benar sudah kacau-balau, tidak ada yang mengurusnya semenjak Lian Bu Tojin tewas di tangan Kwa Hong.

Bukan main sedihnya hati Thio Ki ketika mendengar dari para tosu tentang nasib Lian Bu Tojin dan Hoa-san-pai. Ia merasa amat marah dan gemas kepada Kwa Hong, juga terheran-heran mengapa Kwa Hong sekarang berubah seperti iblis dan juga amat lihai?
Para tosu tadinya hendak mengangkatnya sebagai Ketua Hoa-san-pai, namun Thio Ki menolak keras.

“Mana bisa aku menjadi Ketua Hoa-san-pai?” teriaknya kaget. “Tingkatku di Hoa-san-pai amat rendah, pula aku masih muda. Banyak para susiok dan supek disini, bagaimana aku berani mengangkat diri menjadi Ketua? Pula, orang dengan kepandaian seperti Sukong Lian Bu Tojin sendiri masih tidak kuat menjaga keselamatan Hoa-san-pai, apalagi orang seperti aku? Tidak, aku tidak berani menjadi ketua, akan tetapi aku sanggup untuk sementara berada disini untuk mempertanggung-jawabkan Hoa-san-pai. Biarlah kita menanti sampai kembalinya Tan Beng San Tai-hiap, karena kiranya hanya dia yang akan dapat menolong kita.”

Akan tetapi sampai berbulan-bulan Thio Ki dan para tosu Hoa-san-pai menanti dengan sia-sia. Malah akhirnya dia minta bantuan para tosu yang disebarnya ke segenap penjuru untuk melakukan penyelidikan, kemudian dia sendiri lalu pergi mencari isterinya atau Beng San. Hasilnya juga nihil.

Sama sekali Thio Ki tidak tahu apa yang terjadi atas diri isterinya, juga tidak tahu bahwa pada waktu itu Beng San sendiri juga menghadapi malapetaka yang hebat. Hatinya makin risau dan ia mendapat firasat tidak enak dalam hatinya bahwa isterinya tentu mengalami malapetaka besar. Ia berduka sekali, terutama kalau teringat bahwa isterinya itu sedang mengandung.

Beberapa bulan kemudian pada suatu hari selagi Thio Ki berlatih silat membimbing para tosu di belakang kuil, tiba-tiba terdengar suara melengking aneh. Para tosu menjadi pucat mendengar ini. Mereka pernah dahulu mendengar suara ini, yaitu suara burung rajawali emas yang menjadi binatang tunggangan Kwa Hong.

Bagaikan anak-anak kelinci takut mendengar auman harimau, mereka berlari ke belakang Thio Ki dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, jantung berdebar keras. Thio Ki sendiri terkejut dan menengok keatas dimana ia melihat seekor burung yang besar dan indah terbang berkeliling.

“Eh, burung apakah itu? Besar sekali!” katanya.

“…. celaka… dia datang kembali….!” seorang tosu tua berkata.





Seketika Thio Ki teringat akan cerita yang ia dengar tentang Kwa Hong dan rajawalinya, maka iapun terkejut dan menanti penuh perhatian. Ketika ia menengok, ia melihat dengan heran dan kaget bahwa semua tosu yang berada di belakangnya sudah pada berlutut! Burung itu terbang makin dekat, menukik ke bawah dan terdengarlah bentakan nyaring.

“Siapa ini berani menyambut Ketua Hoa-san-pai tanpa berlutut? Apa kau sudah bosan hidup?” Ucapan ini disusul menyambarnya sinar hijau ke arah kepala Thio Ki.

“Hong-moi….!”

Thio Ki berteriak dan inilah yang menyelamatkan nyawanya karena sinar itu tiba-tiba menyeleweng tidak jadi mengenai kepalanya akan tetapi ada hawa pukulan yang demikian dahsyatnya sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi Thio Ki terguling dan terbanting ke atas tanah!

“Sumoi….!”

Thio Ki memanggil lagi sambil merangkak bangun. Kiranya Kwa Hong sudah berdiri diatas tanah, burung raksasa itu telah terbang keatas sambil bercuitan. Thio Ki cepat bangun, akan tetapi kaki kiri Kwa Hong bergerak ke arah lututnya dan… untuk kedua kalinya Thio Ki roboh lagi.

Thio Ki mengangkat muka dengan heran. Bukan main terkejutnya ketika ia melihat Kwa Hong. Jelas bahwa wanita ini adalah Kwa Hong, masih semanis dan secantik dahulu. Akan tetapi tarikan mulut itu benar-benar menimbulkan kengerian padanya.

“Heh, kiranya engkau? Thio Ki, biarpun engkau sendiri juga harus berlutut di depanku, didepan Ketua Hoa-san-pai!”

“Sumoi, apakah kau sudah gila?” Thio Ki melompat bangun. “Betulkah kau telah membunuh Sukong, mengangkat diri menjadi Ketua Hoa-san-pai? Sumoi, kenapa begitu? Kau yang dulu berjiwa gagah….”

Kata-kata Thio Ki terhenti karena ia sudah roboh lagi, kini agak parah karena ia kena ditampar pundaknya oleh tangan kiri Kwa Hong yang memiliki hawa pukulan luar biasa dahsyatnya. Mata Kwa Hong berkilat marah.

“Memang aku bunuh dia. Kaupun akan kubunuh karena kau berani bersikap kurang ajar kepadaku! Kau bicara tentang kegagahan? Hi-hi-hik, kau sendiri gagah apanya? Isteri dibawa lari orang lain, dipermainkan, kau enak saja disini. Huh, laki-laki apa kau ini? Lebih baik mampus!”

Thio Ki seketika bangun lagi, lupa akan rasa nyeri luar biasa pada pundaknya. Mukanya pucat.

“Sumoi… kau melihat Lee Giok? Dimana dia? Bagaimana dengan dia….? Apakah si bangsat Giam Kin….” Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, napasnya sesak karena gelisah dan marah.

“Hi-hi-hik, isterimu dibawa lari orang, dipermainkan orang. Syukur, baru senang ya rasanya terpisah dari orang yang kau kasihi? Hu-hu-hu….”

Tiba-tiba Kwa Hong menangis tersedu-sedu karena ia teringat akan dirinya sendiri yang juga tak dapat berkumpul dengan orang yang ia cinta.

Thio Ki kaget dan juga bingung, akan tetapi berita itu terlalu mengguncangkan hatinya sehingga ia tidak pedulikan lagi yang lain. Ia bangun dan memegang tangan Kwa Hong.

“Sumoi… demi Tuhan… katakanlah, dimana Giam Kin yang menculik isteriku….?”

Kwa Hong menghentikan tangisnya, lalu matanya liar lagi, penuh kebengisan.
“Kau mau mencari dia? Boleh kuantar kau menyusul dia ke akhirat. Dia sudah kubunuh!”

“Dan Lee Giok bagaimana….? Ah, sumoi….” mata Thio Ki terbelalak dan sikapnya mengancam, “apakah kau juga membunuh dia….?”

Kwa Hong tertawa lagi, tertawa menyeramkan.
“Kalau betul, kau mau apa?”

“Kau… kau… iblis kejam…..!”

Dengan nekat Thio Ki menerjang bekas adik seperguruannya itu. Akan tetapi pada waktu itu tingkat kepandaiannya tidak berarti apa-apa kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwa Hong. Sekali menangkis dan sekali mendorong saja kembali Kwa Hong berhasil merobohkannya. Kwa Hong tertawa lagi sambil mengeluarkan pedang Hoa-san Po-kiam.

“Hi-hik, kau manusia rendah berani melawan Ketua Hoa-san-pai? Mampuslah kau!”

Pedang Hoa-san Po-kiam itu diangkat tinggi-tinggi untuk ditebaskan ke arah leher Thio Ki.

Pada saat itu sebutir batu kecil menyambar ke arah pedang itu sehingga gerakan pedang tertahan di udara, disusul bentakan nyaring,

“Hong Hong!!”

Kwa Hong kaget bukan main. Sambaran batu itu hebat sekali akan tetapi baginya tidaklah terlalu mengagetkan. Yang membuat ia kaget adalah suara bentakan tadi. Cepat ia memandang dan… tubuhnya tiba-tiba gemetar dan pedang yang dipegangnya itu terlepas, jatuh keatas tanah. Ia berdiri terpaku seperti patung, matanya terbelalak memandang laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya, laki-laki setengah tua yang berwajah keren dan gagah perkasa, yang tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan.

“Ayah….!” Hati Kwa Hong menjerit akan tetapi bibirnya hanya mengeluarkan suara yang serak.

Di lain saat laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya dengan mata berapi-api dan alisnya terangkat naik, wajahnya membayangkan kemarahan, kedukaan dan sesal yang amat besar.

Laki-laki itu memang ayah Kwa Hong, yaitu Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong. Di dalam cerita Raja Pedang telah dituturkan betapa murid pertama dari mendiang Lian Bu Tojin ini melarikan diri dari Hoa-san bersama sumoinya, Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa setelah tangan kirinya buntung oleh pedang gurunya sendiri dalam usahanya menolong nyawa sumoinya dari serangan pedang Lian Bu Tojin.

Kwa Tin Siong tak dapat menyangkal bahwa ia memang jatuh cinta kepada Liem Sian Hwa, sumoinya sendiri itu dan sebaliknya Sian Hwa juga diam-diam mencinta suhengnya ini setelah hatinya hancur lebur oleh kelakuan tunangannya, yaitu mendiang Kwee Sin murid Kun-lun-pai.

Setelah melarikan diri dari Hoa-san, keduanya lalu mengasingkan diri, hidup berdua di sebuah puncak gunung. Mereka merasa malu untuk turun gunung dan karena senasib, pula karena mereka memang saling mencinta, maka keduanya lalu bersumpah saling setia dan menjadi suami isteri.

Dengan tekun kedua orang ini lalu memperdalam ilmu silat mereka dan karena keduanya memang telah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, memiliki dasar-dasar yang amat kuat, maka ketekunan mereka berhasil baik sehingga ilmu kepandaian mereka maju pesat sekali.

Betapapun juga, ketika Kwa Tin Siong mendengar akan sepak terjang puterinya terhadap Hoa-san-pai, malah sudah membunuh Lian Bu Tojin, ia tidak dapat terus tinggal diam berpeluk tangan mendengar Hoa-san-pai dirusak dan dikacau oleh puterinya sendiri yang terkasih.

Setelah bermufakat dengan isterinya, ia lalu turun dari gunung dan menuju ke Hoa-san-pai. Kedatangannya tepat pada saat Kwa Hong hendak membunuh Thio Ki sehingga ia dapat mencegahnya.

Di belakang Kwa Tin Siong terlihat seorang wanita cantik dan gagah, menggendong seorang anak kecil. Inilah Liem Sian Hwa dan anak itu adalah Kun Hong, anak suami isteri ini.

Kita kembali ke pertemuan antara ayah dan anak yang menegangkan ini. Para tosu yang segera mengenal Kwa Tin Siong segera bangkit dari berlutut dan memandang penuh ketegangan, juga kelegaan hati.






No comments:

Post a Comment