Ads

Monday, October 29, 2018

Rajawali Emas Jilid 005

Hoa-san-pai adalah partai persilatan yang besar dan sudah terkenal semenjak ratusan tahun. Sayang sekali partai besar ini menjelang berakhirnya pemerintahan Goan menjadi berantakan.

Semenjak dahulu Hoa-san-pai menggembleng pendekar-pendekar budiman sehingga nama baiknya makin harum saja. Mungkin sudah kehendak Tuhan bahwa segala apa di dunia ini, sampai nama sekalipun, tidak akan kekal adanya. Adakalanya naik dan adakalanya turun, ada pasang surutnya.

Nasib yang menimpa Hoa-san-pai di bawah pimpinan Lian Bu Tojin memang amat menyedihkan. Karena kesalah pahaman disebabkan hal-hal yang amat berbelit-belit dalam masa perjuangan meruntuhkan Kerajaan Mongol dan mengusir penjajah itu dari tanah air, Ketua Hoa-san-pai ini kehilangan semua muridnya yang paling ia andalkan dan sayang.

Empat orang muridnya yang dahulunya terkenal sebagai Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san) sekarang sudah tidak ada lagi. Yang pertama, Kwa Tin Siong, telah minggat entah kemana setelah tangannya buntung oleh pedang gurunya, pergi bersama murid keempat, Liem Sian Hwa. Dua yang lain, yaitu murid kedua dan ketiga, telah tewas dalam permusuhan dengan Kun-lun-pai yang terjadi karena kesalah-pahaman yang hebat.

Memang masih ada empat orang cucu muridnya, yaitu Kwa Hong yang entah kemana perginya, kemudian yang didengar oleh kakek Ketua Hoa-san-pai itu bahwa Kwa Hong telah hidup bersama Koai Atong.

Cucu murid yang lainnya adaiah Kui Lok yang sekarang menjaga Hoa-san-pai bersama Thio Bwee. Kakek ini sudah mengambil keputusan untuk merangkapkan dua orang cucu muridnya ini yaitu Kui Lok dan Thio Bwee menjadi suami isteri.

Cucu murid ke empat adalah Thio Ki kakak dari Thio Bwee yang sekarang sudah bekerja sebagai kepala perusahaan piauw-kiok (pengawal pengantar barang) di Sin-yang. Juga Thio Ki sudah ia jodohkan dengan murid Raja Pedang Cia Hui Gan, yaitu Nona Lee Giok yang patriotik.

Akan tetapi Lian Bu Tojin amat berduka kalau ia teringat akan muridnya yang terkasih, yaitu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Ke manakah perginya dua orang itu? Pula, ia merasa sedih dan kecewa sekali kalau ia teringat akan Kwa Hong yang kabarnya tinggal di puncak Lu-Liang-san bersama Koai Atong!

Kalau perbuatan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa itu dapat dianggap merusak nama dan kehormatan Hoa-san-pai, maka yang merusak itu adalah dua orang murid Hoa-san-pai sendiri. Akan tetapi kalau sampai terdengar orang kang-ouw tentang Koai Atong dan Kwa Hong, bukankah itu berarti bahwa Koai Atong sengaja hendak menghina Hoa-san-pai dan memandang rendah dan ringan kepadanya?

Pikiran inilah yang selalu mengganggu kakek ini dan membuat ia mengambil keputusan untuk mencari Ban-tok-sim Giam Kong untuk diminta pertanggungan-jawabnya terhadap perbuatan Koai Atong dan kalau guru Tibet ini tidak mau mempertanggung-jawabkannya, ia sendiri akan mencari Kwa Hong dan Koai Atong di Lu-liang-san.

Dan adalah keputusan ini yang membuat pada suatu hari Lian Bu Tojin berhadapan dengan Ban-tok-sim Giam Kong di tepi gurun pasir di luar tembok besar sebelah utara. Ban-tok-sim Giam Kong adalah seorang hwesio bertubuh tinggi besar berkulit hitam sekali, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih namun masih nampak kuat dan tongkat hwesio yang selalu berada di tangannya juga berat tanda bahwa tenaga hwesio tua ini besar.

Sepasang mata hwesio ini memancarkan sinar penuh semangat dan matanya sekarang juga bersinar-sinar ketika ia bertemu dengan Lian Bu Tojin di tempat yang tak disangka-sangkanya itu.

“Omitohud….!” la mengeluarkan kata-kata pujian sambil merangkap kedua tangan ke depan dada, menyembah sebagai tanda hormat. “Angin apakah yang meniup Toyu datang ke tempat ini?”

Lian Bu Tojin merangkap kedua tangan lalu menjura,
“Bagus sekali, agaknya memang Thian sudah menghendaki pertemuan kita. Losuhu, sengaja pinto mencarimu untuk membicarakan sesuatu urusan amat penting.”

“Omitohud, pinceng tidak hendak mendahului kehendak Thian. Akan tetapi, bukankah Toyu mencari pinceng karena urusan muridmu dan muridku?”

“Siancai… siancai….” Lian- Bu Tojin berkata heran. “Kiranya Losuhu sudah maklum pula akan hal itu. Losuhu, diantara kita ada pertalian persahabatan ketika kita bersama menghadapi bangsa Mongol. Oleh karena itu pula, pinto mohon Losuhu sudi mengingat hubungan baik itu dan suka meluruskan jalan yang bengkok.”

Kata-kata meluruskan jalan bengkok ini berarti membetulkan sesuatu yang salah atau yang tidak wajar.





Giam Kong Hwesio tertawa sambil berdongak, giginya yang masih lengkap dan kuat itu berkilat-kilat putih di balik kulit mukanya yang hitam.

“Lian Bu-toyu memakai kata-kata halus tapi maksudnya hendak menyalahkan pinceng dalam hal ini, ha-ha-ha! Sebetulnya, pinceng sendiripun amat heran mengapa muridmu yang muda dan cantik jelita itu suka kepada murid pinceng yang bodoh dan gila. Kalau muridmu suka, mengapa hendak menyalahkan pinceng?”

Wajah Lian Bu Tojin yang putih itu berubah agak merah. Benar-benar memalukan sekali sikap Kwa Hong itu, akan tetapi betapapun juga, ia harus menjaga nama dan kehormatan Hoa-san-pai.

“Pinto meragukan apakah Kwa Hong dengan sukarela ikut dengan muridmu. Harus diakui bahwa muridmu itu jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada Kwa Hong. Andaikata muridmu hendak mengambil Kwa Hong sebagai jodohnya, itupun harus melalui saluran-saluran yang terhormat. Maka dari itu, Losuhu, sudah jelas bahwa muridmu melanggar kesusilaan, menghina Hoa-san-pai. Kalau Losuhu tidak mau turun tangan sendiri, terpaksa untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, pinto yang akan mewakili Losuhu.”

Kali ini Ban-tok-sim Giam Kong tidak tertawa lagi, menarik muka sungguh-sungguh dan berkata,

“Lian Bu-toyu, kau enak saja bicara seperti orang yang bersih mulus! Ketahuilah, dalam urusan antara muridmu dan muridku ini terdapat rahasia yang pinceng sendiri masih belum dapat pecahkan. Kau tahu, Atong selama hidupnya amat taat dan takut kepadaku, akan tetapi kali ini ia membangkang dan sama sekali tidak mau kembali kepada pinceng. Ini tidak sewajarnya dan agaknya muridmu itulah yang memaksanya, entah dengan pengaruh apa. Selain dari itu, supaya kau tahu saja, pinceng yang menjadi gurunya tahu betul bahwa diri Kaoi Atong itu tidak normal lagi, tak mungkin dia bisa menjadi suami karena pinceng sendiri yang dahulu sudah turun tangan mematikan pembangkit nafsunya. Dia akan tetap menjadi kanak-kanak sampai matinya kelak dan tidak mungkin ia akan dapat melakukan hubungan dengan wanita sebagai suami isteri. Nah, setelah keadaan seperti ini sekarang pinceng mendengar ia mati-matian mengaku sebagai suami muridmu, bukankah aneh sekali ini?”

Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Orang seperti Ban-tok-sim Giam Kong ini tidak aneh kalau melakukan kekejian seperti yang dilakukan terhadap Koai Atong itu dan kata-katanya itu boleh dipercaya. la diam-diam merasa heran sekali. Bukan tak mungkin kalau sebaliknya Kwa Hong yang mempengaruhi bocah tua itu. la mengenal baik Kwa Hong yang keras hati dan tidak mau kalah dalam segala hal. Akan tetapi mengapa Kwa Hong melakukan hal itu?

“Giam Kong Losuhu, kalau begitu, karena hal ini menyangkut muridmu dan muridku, jadi menyangkut nama baik kedua pihak, maka marilah kita berdua pergi ke Lu-liang-san dan sama melihat sebetulnya apakah yang terjadi disana dan siapa diantara keduanya itu yang bersalah harus kita hukum.”

“Usulmu baik sekali, Toyu.”

Berangkatlah dua orang kakek pendeta itu menuju ke Lu-liang-san. Keadaan dua orang kakek ini amat jauh berbeda. Giam Kong Hwesio adalah seorang kakek tinggi besar yang bermuka hitam dan tangannya menyeret sebuah tongkat yang besar dan berat, tongkat hwesio yang kepalanya diukir kepala binatang sakti kilin.

Adapun Lian Bu Tojin yang beberapa tahun lebih muda daripada hwesio tua itu adalah seorang pendeta tosu yang tinggi kurus, jenggotnya panjang sampai ke perut, pakaiannya sederhana sekali dan tangannya membawa sebatang bambu yang ringan. Di punggungnya tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai.

Biarpun dua orang kakek ini sudah tua sekali, sudah lebih enam puluh tahun, namun berkat tingkat kepandaian mereka yang tinggi, dengan ilmu lari cepat mereka, dalam beberapa hari saja mereka sudah mulai mendekati Bukit Lu-liang-san yang sunyi.

Akan tetapi mencari dua orang diatas pegunungan yang banyak puncaknya dan kaya akan hutan-hutan lebat itu bukanlah pekerjaan mudah. Setelah berkeliaran beberapa hari barulah pada suatu pagi mereka berhasil menemukan Koai Atong. Inipun kalau Koai Atong tidak sedang memanggang daging harimau kiranya masih belum akan dapat ditemukan oleh dua orang kakek itu. Asap yang bergulung-gulung itulah yang menarik dua orang kakek ini dan akhirnya mereka melihat Koai Atong sedang memanggang daging dalam sebuah hutan yang lebat. Koai Atong tertawa dan menyanyi seorang diri, nampaknya gembira bukan main.

Giam Kong Hwesio yang menghampiri dengan diam-diam itu merasa terharu juga. Sudah terlalu kenal ia akan watak muridnya ini dan ia dapat melihat betapa muridnya itu betul-betul merasa bahagia hidupnya. Maka meragulah dia, apakah dia harus mengganggu penghidupan yang begitu tenteram dan bahagia dari Koai Atong? Akan tetapi karena ada urusan yang menyangkut diri Kwa Hong murid Hoa-san-pai, tentu saja iapun tidak dapat mendiamkan saja.

“Koai Atong, sedang apa kau disini seorang diri?” tegur Giam Kong Hwesio.

Koai Atong nampak kaget, apalagi setelah menengok ia melihat gurunya bersama Lian Bu Tojin sudah berdiri di depannya. Saking gugupnya ia lalu mendekatkan daging yang dipanggangnya itu ke mulut, Lalu… digigitnya daging setengah matang yang masih panas sekali itu. la seperti lupa diri dan terus makan daging yang masih mengebul itu dengan enaknya sambil kedua matanya memandang kepada dua orang kakek itu, terbelalak.

“Koai Atong, suhumu bertanya kenapa tidak kau jawab?” kata Lian Bu Tojin, suaranya terdengar tenang dan penuh kesabaran.

Ketua Hoa-san-pai ini memang tak pernah memperlihatkan kandungan hatinya sehingga dalam keadaan marah atau duka ia bisa tertawa.

“Aku… aku sedang makan..,.” jawab Koai Atong gugup. “Suhu dan Totiang… apakah suka makan daging?”

Kalau saja pertanyaan ini bukan diajukan oleh Koai Atong yang sudah mereka kenal wataknya yang kekanak-kanakan, tentu akan merupakan pertanyaan yang sifatnya menghina. Masa dua orang pendeta yang pantang makan bernyawa ditawari daging?

“Atong, kedatangan pinceng dan Lian Bu-toyu kesini bukan untuk makan daging, melainkan untuk mencari kau dan Nona Kwa Hong. Kabarnya kau dan Nona Kwa Hong berada disini, sekarang dimana adanya nona itu?”

Mendengar pertanyaan gurunya, Koai Atong lalu berdiri, mulutnya masih bergerak-gerak makan daging panas.

“Ada keperluan apakah kau mencari isteriku?”

Terbelalak mata Giam Kong Hwesio mendengar kata-kata dan melihat sikap yang menantang ini,

“Atong, apa katamu? Sejak kapan kau memperisteri dia?”

“Sejak… sejak lama, entah berapa lama. Enci Hong adalah isteriku dan kelak kalau anaknya terlahir, anak itu adalah anakku!” Otomatis Koai Atong meniru kata-kata yang harus ia janjikan kepada Kwa Hong dahulu.

Mendengar ini, dua orang kakek itu saling pandang dan keduanya melangkah heran. Keheranan itu perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan karena mereka berdua menganggap bahwa hal ini benar-benar keterlaluan. Dua orang bersuami isteri sampai hampir punya anak dan semua itu terjadi di luar tahu guru masing-masing, terjadi begitu saja tanpa pengesahan. Benar-benar merupakan tamparan bagi orang yang menjadi gurunya.

“Atong, jangan kau main gila!” bentak Giam Kong Hwesio dengan muka makin menghitam karena menahan kemarahannya. “Benar-benarkah kau menjadi suami Nona Kwa Hong? Jangan berdusta, jawab terus terang!”

Biasanya apabila gurunya sudah membentaknya seperti itu, hati Koai Atong menjadi jerih dan takut, lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kali ini ia tetap berdiri dan biarpun wajahnya berubah pucat dan tubuhnya menggigil, ia menjawab,

“Betul, Suhu. Enci Hong adaiah isteriku, aku suaminya dan anaknya kelak akan menjadi….”

“Tutup mulut!” Giam Kong Hwesio membentak marah sekali. “Atong, lupakah kau bahwa dalam segala hal kau harus mendapat ijin lebih dulu dari pinceng? Diam-diam kau mengaku sebagai suami Nona Kwa Hong, siapakah yang memaksamu berbuat demikian?”

“Enci Hong yang meminta begitu, Suhu… dan aku… aku tidak bisa menolaknya, tidak mau aku membikin Enci Hong marah dan berduka.”

Giam Kong Hwesio melirik ke arah Lian Bu Tojin, sinar matanya seakan-akan berkata,
“Nah, semua adalah kesalahan muridmu!”






No comments:

Post a Comment