Ads

Monday, October 29, 2018

Rajawali Emas Jilid 003

Seorang wanita muda berjalan seorang diri di dalam hutan itu. Wanita ini masih muda sekali, berusia sekitar dua puluh satu tahun. Sungguhpun badannya tidak terpelihara baik-baik, dapat dilihat dari pakaiannya yang tidak teratur dan rambutnya yang kusut, namun tak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa dia adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita.

Sayang bahwa pada waktu itu, tidak saja pakaian dan badannya tidak terawat baik-baik, juga pada wajah yang cantik manis itu nampak kedukaan dan kesengsaraan hati yang amat hebat. Wajah itu suram-suram dan pada pipinya nampak bekas-bekas air mata. Sambil menundukkan mukanya, wanita itu berjalan di dalam hutan, tanpa tujuan seperti orang dalam mimpi. Berulang-ulang ia menarik nafas panjang, kadang-kadang mengeluarkan air mata.

Tiba-tiba ia dibangunkan dari lamunannya oleh suara lirih yang datang dari semak-semak belukar. Suara yang mengandung keluh kesakitan, merintih-rintih. Wanita itu tertarik hatinya dan menyelinap memasuki belakang semak-semak yang amat rapat dan liar.

Ternyata disitu mendekam seekor burung yang merintih-rintih kesakitan. Wajah wanita itu nampak kaget melihat seekor burung yang begitu besarnya dan bulunya seperti emas berkilauan. Ketika melihat sayap kiri burung itu tergantung lemas dan darah bercucuran dari lukanya yang masih tertancap ujung anak panah, wanita itu berkata, suaranya penuh perasaan kasihan.

“Ahh, sayapmu terluka? Kasihan sekali, mari kucabut ujung anak panah itu. Siapa orangnya yang begitu kurang ajar melukai burung begini indah?”

Dari suaranya saja mudah diketahui bahwa pada dasarnya wanita ini bersikap gagah dan pembela kaum lemah, sayang bahwa dia sedang disiksa oleh penderitaan batin agaknya.

Burung itu bukan lain adalah rajawali emas yang terluka oleh anak panah Koai Atong. Biarpun dia hanya seekor burung, namun ia termasuk binatang yang cerdik juga dan dapat mengenal kawan atau lawan.

Agaknya ia berkesan baik terhadap wanita ini, buktinya ia lalu mengeluarkan suara merintih dan menjulurkan sayap kirinya seperti seorang anak kecil memperlihatkan tangannya yang sakit kepada ibunya.

Wanita itu meraba sayap itu, memeriksa sebentar.
“Ah, kasihan sekali kau, alangkah kejam orang yang melukaimu. Tentu sakit dan perih….” tiba-tiba ia meramkan mata dan menyambung, “Namun, burung yang baik, betapapun sakitnya sayapmu, takkan sesakit hatiku….”

la membuka mata lagi lalu menggunakan jari-jari tangan yang runcing mungil mencabut ujung anak panah yang masih menancap dalam-dalam di sayap kiri burung itu. Dengan amat mudahnya anak panah tercabut dan darah hijau menghitam bercucuran keluar.

Dari gerakan mencabut ini saja dapat diketahui bahwa wanita muda yang cantik jelita itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Melihat darah agak kehijauan itu wanita ini nampak kaget dan berseru,

“Celaka, anak panah ini beracun! Ah, mungkin kau takkan tertolong lagi….” suaranya terdengar sedih sekali. “Tapi biarlah kucoba mengobatinya dengan obat luka yang kubawa dari Hoa-san.”

Wanita itu mengeluarkan bungkusan kecil lalu mengobati luka di sayap burung itu dengan obat bubuk putih. Burung itu diam saja hanya merintih-rintih perlahan kemudian dengan mesra lehernya ia gosok-gosokkan kepada leher dan kepala wanita itu. Wanita itupun membelai kepala burung itu sambil berkata terharu,

“Ah, burung yang baik, kau seekor binatang saja tahu terima kasih….”

Tiba-tiba terdengar suara berisik daun-daun kering terinjak disusul bentakan parau,
“Ah, kiranya kau bersembunyi disini, rajawali iblis?”

Dan muncullah Koai Atong yang mukanya masih bengkak-bengkak dan matang biru karena tadi beberapa kali dihajar oleh burung rajawali itu sampai terguling-guling.

Akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan wanita cantik itu, seketika kemarahan Koai Atong lenyap dan matanya terbelalak memandang wanita itu, mulutnya yang masih membengkak tlba-tiba terbuka dan tertawa lebar, wajahnya berseri-seri gembira.

“Enci Hong….! Ha-ha-ha, benar, kau Enci Hong….!” ia bersorak gembira dan meloncat-loncat seperti anak kecil menari-nari mendekati wanita muda itu.





Wanita muda itu menarik napas panjang.
“Hemm, Koai Atong, jadi kaukah yang melukai burung ini?”

“Ah, jadi dia ini burungmu, Enci Hong?”

Wanita itu meragu sebentar, lalu mengangguk,
“Betul.”

“Waduh, celaka! Kalau aku tahu dia burungmu, tentu aku tidak berani mengganggunya.” Koai Atong lalu menghampiri burung itu dan menjura sangat dalam. “Kim-tiauw-ko (Kakak Burung Rajawali Emas), kau maafkan aku, ya? Aku tidak tahu bahwa kau adalah peliharaan Enci Hong.”

Melihat Koai Atong mendekat, burung itu marah dan hendak mematuk, tapi wanita itu mencegahnya sambil merangkul lehernya.

“Dia ini orang sendiri, jangan ganggu.” Dan aneh sekali, burung itu tidak jadi menyerang.

“Koai Atong, jadi burung ini adalah seekor kim-tiauw (rajawali emas)?”

“Lho, kok aneh sekali kau ini. Masa tidak mengenal burung peliharaan sendiri?”

“Baru sekarang aku mendengar bahwa dia adalah rajawali emas. Koai Atong, kau telah melukainya dengan racun hijau, sekarang kau harus memberi obat padanya.”

“Baik… baik… ah Enci Hong. Kalau dia burungmu, benar-benar aku harus dipukul!”

Kaoi Atong cepat mengeluarkan obat bubuk dari dalam sakunya. Sebagai seorang ahli Jing-tok (Racun Hijau), tentu saja ia tahu bagaimana harus mengobati luka karena Jing-tok itu. Beberapa kali ia menyedot luka di sayap itu dengan mulutnya, kemudian ia menaruhkan obat bubuknya yang berwarna kuning.

Benar saja, dalam waktu tak berapa lama burung itu telah dapat menggerak-gerakkan kembali sayap kirinya.

Siapakah wanita muda itu? Dia bernama Kwa Hong cucu murid Hoa-san-pai akan tetapi oleh karena ia secara langsung menerima gemblengan dari kakek gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai yang bernama Lian Bu Tojin, maka ilmu silatnya amat tinggi.

Beberapa bulan yang lalu Kwa Hong gadis gagah perkasa ini mengalami peristiwa yang amat menghancurkan hatinya. la tertawan musuh dan ditahan di benteng bala tentara Mongol. Beng San, pemuda sakti yang telah menjatuhkan hatinya, telah menolongnya dan kemudian mereka berdua terjebak oleh tipu daya musuh.

Musuh yang jahat telah menaruhkan obat mujijat dalam makanan sehingga dia dan Tan Beng San dalam keadaan tidak sadar telah jatuh dalam kekuasaan obat mujijat itu dan telah melakukan pelanggaran susila, telah melakukan hubungan seperti suami isteri.

Hal ini sesungguhnya tidak mendukakan hati Kwa Hong karena memang ia mencinta Tan Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika pada keesokan harinya setelah sadar dari pengaruh obat itu, Beng San menyatakan penyesalannya, minta mati dan malah mengaku Beng San tak mungkin dapat memperisterinya karena pemuda itu sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain! Semua peristiwa ini telah diceritakan dengan jelas dalam cerita RAJA PEDANG.

Demikianlah, dengan hati hancur, perasaan malu dan amat kecewa, Kwa Hong lalu lari pergi dengan maksud menjauhkan diri dari segala keramaian dunia. Apalagi yang dapat ia harapkan? Orang yang dicintanya, yang tidak hanya merebut hati dan jiwanya, malah sudah pula memiliki badannya, tidak mau menerimanya dan menyatakan cinta kepada gadis lain!

Ibu, dia sudah tidak punya. Adapun ayahnya… ah, makin sedih kalau Kwa Hong teringat ayahnya. Ayahnya adalah seorang pendekar besar yang ternama, seorang jagoan Hoa-san-pai, murid tertua dari Lian Bu Tojin. Hoa-san It-kiam (Pedang Tunggal dari Hoa-san) Kwa Tin Siong adalah seorang tokoh persilatan yang mempunyai nama besar dan harum.

Akan tetapi, nasib manusia memang tidak dapat dipastikan. Ayahnya yang sudah lama menjadi duda itu terlibat dalam persoalan asmara dengan adik seperguruannya sendiri, yaitu Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) Lim Sian Hwa. Karena marahnya Lian Bu Tojin hendak membunuh Lim Sian Hwa, namun serangan pedangnya ditangkis oleh Kwa Tin Siong, membuat lengan kirinya putus dan ayahnya itu kemudian membawa lari Sian Hwa yang pingsan, pergi entah ke mana! (Baca Raja Pedang).

Siapa lagi yang dapat diharapkan oleh Kwa Hong? Hatinya perih sekali, dan lebih-lebih lagi bingung serta perih rasa hatinya ketika dalam perantauannya ini ia mendapat kenyataan bahwa ia telah mengandung!

Tuhan menjatuhkan hukuman-Nya terhadap mahluk-Nya yang sesat! Perhubungannya dengan Tan Beng San tidak saja menghancurkan hatinya, tapi juga akan mendatangkan aib dan malu. la telah mengandung di luar pernikahan yang sah. la akan mempunyai anak tanpa mempunyai suami!

Setelah mendapat kenyataan ini, beberapa kali Kwa Hong hendak membunuh diri saja, namun wataknya yang keras menimbulkan satu tekad padanya. la tak boleh mati karena ia harus melakukan pembalasan! Kepada siapa? Kepada siapa saja yang telah membuat ia menjadi begini, kepada siapa saja yang telah membuat penghidupannya hancur lebur.

Demikianlah, secara kebetulan ia tiba di hutan itu dan bertemu dengan Koai Atong. la memang mengenal baik Koai Atong ini, semenjak kecil dahulu Koai Atong selalu baik kepadanya. Teringatlah ia setelah berjumpa dengan Koai Atong ini, akan kata-katanya di depan Tan Beng San. Kata-kata terakhir untuk menyatakan kehancuran hatinya.

“Aku akan menikah dengan laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh yang pertama kali kujumpai.”

“Ah, bukankah Koai Atong ini boleh dibilang laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh? Dan melihat ketaatan Koai Atong kepadanya… ha, siapa lagi di dunia ini yang boleh ia percaya?”

“Koai Atong, apakah kau masih suka kepadaku?” tiba-tiba Kwa Hong bertanya sambil memandang tajam kepada laki-laki tinggi besar yang bermuka bodoh itu.

Koai Atong tertawa senang,
“Tentu saja, Enci Hong. Aku suka sekali padamu, kau seorang teman yang amat baik.”

“Apakah kau suka menurut semua kata-kataku? Kalau kau tidak suka menuruti permintaan dan kata-kataku, lebih baik kau tinggalkan aku dan selama hidup jangan kau bertemu dengan aku lagi!”

“Tentu… tentu….” jawab Koai Atong gugup, agaknya laki-laki ini memang takut sekali kalau-kalau tak boleh bertemu dengan Kwa Hong, “Aku akan menuruti semua kata-katamu, Enci Hong. Biar disuruh matipun aku mau!”

Seketika kedua mata Kwa Hong menjadi basah, hatinya tertusuk sekali, Perih dan terharu ia melihat Koai Atong yang demikian mencintanya sehingga bersedia mati untuknya. Kasihan Koai Atong. Kau seperti aku nasibmu, demikian ia berpikir. Mencinta mati-matian tanpa mendapat balasan.

“Lho, kok menangis, Enci Hong? Siapa yang mengganggumu? Bilanglah, Koai Atong akan menghancurkan kepalanya!”

la berdiri dan mengepal-ngepal tinjunya, nampaknya marah sekali seakan-akan sudah melihat pengganggu Kwa Hong berada di depannya.

“Kau duduklah, Koai Atong,”

Kwa Hong memegang tangannya dan menariknya duduk di atas tanah. Sementara itu burung rajawali emas yang sudah sembuh juga mendekam di belakang Kwa Hong membelai-belai punggung gadis itu dengan kepala dan lehernya.

Koai Atong nampak girang sekali disuruh duduk di dekat Kwa Hong. Sinar matanya seperti mata seorang anak kecil minta dipuji.

“Atong, kau dengarlah baik-baik. Aku sekarang hidup seorang diri di dunia ini. Maukah kau bersamaku? Menjadi temanku selamanya dan tak pernah meninggalkan aku?”

“Aku suka… aku suka sekali!” .

“Tapi kau tidak boleh pergi kemana pun juga, harus selalu mengikuti aku dan mentaati permintaanku.”

“Boleh… boleh Enci Hong.”






No comments:

Post a Comment