Ads

Wednesday, October 10, 2018

Raja Pedang Jilid 103

Membaca tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya,

“Bi Goat, alangkah mulia hatimu….. alangkah suci cinta kasihmu…..”

Sampai lama dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah.

Tiba-tiba Bi Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, tertawa-tawa dengan mata masih basah air mata, dipandangnya Beng San dari atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa ia betul-betul telah bertemu dengan Beng San!

Sikap kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya. Kemudian Bi Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja disitu dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-beng Yok-mo.

Entah apa yang dilakukan didalam, akan tetapi ketika ia keluar kembali ternyata ia telah berganti pakaian! Buntalan kecil yang tadi menempel di punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna merah berkembang-kembang indah sekali yang kini dipakainya sebagai pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling berpegang tangan dan saling berpandangan.

“Kau jelita, Bi Goat….. kau hebat….”, hanya demikian Beng San dapat berkata lirih.

Bi Goat tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan dapat dirasakan oleh mereka berdua.

“Bi Goat, bagaimana kau bisa datang kesini dan mengapa kau memusuhi Toat-beng Yok-mo?” Beng San bertanya.

Mendengar ini, Bi Goat seperti kaget seperti baru teringat akan hal penting. Ia menarik tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk keatas tanah. Ternyata ia menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.

“Kami tinggal di lereng Min-san. Aku harus mengejar Yok-mo. Kita pasti akan bertemu kembali. Selamat berpisah!”

Demikianlah bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu merangkul lehernya sekali, tertawa lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.

“Bi Goat…..!”

Beng San hendak mengejar akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh. Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit berdiri.

“In-kong (Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita…..” kata Bun Lim Kwi sambil menjura dengan hormat. “Tadi ada seorang gagah menolongku, di manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?”

Melihat sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas dan berkata,

“Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya kalau manusia hidup di dunia ini saling tolong-menolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan? Kalau kita berbicara tentang pertolongan, takkan ada habisnya. Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-mo menolongmu pula, lalu kau juga menolongku dari ancaman Yok-mo, yang kemudian sekali pendekar wanita murid Song-bun-kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San….. eh, Tan Beng San.”

Bun Lim Kwi nampak terheran-heran.
“Murid Song-bun-kwi…..? Sungguh aneh, bagaimana muridnya mau menolongku…. “‘





Beng San tidak suka banyak bicara tentang Bi Goat, maka dia segera membelokkan percakapan,

“Saudara Bun, aku rnendapatkan kau menggeletak di hutan dalam keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu?

Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali.
“Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia…..”

“Dia siapakah?”

Kembali pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang.
“Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san, suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku….. hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas susiokku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh mendiang ayahku dan pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh…..”

Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali.
“Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah….. dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada disini.”

Beng San mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa temyata sekarang bukan Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap mempergunakan senjata rahasia mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada nona itu, maka dia senang mendengar bahwa bukanlah gadis itu yang melakukan penyerangan curang dan keji.

“Tentu ada orang ketiga yang berbuat curang,” katanya. “Saudara Bun, aku melihat kau menggeletak dihutan itu. Kubawa kau kembali ke Hoa-san dan Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan ular-ular pemberian Giam Kin. Celaka sekali, ular-ular itu sama sekali bukanlah Ngo-tok-coa yang mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya setelah diobati dengan ular-ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah menipu Hoa-san-pai.”

Tercengang juga Bun Lim Kwi mendengar ini.
“Ah, memang tepat sekali wawasan suhu….. sebenarnya Hoa-san-pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh masih mereka usahakan untuk menolong….. hemmm, kenyataan ini makin menguatkan hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio Eng…..”

“Tapi akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin…..”

“Tidak, saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak melakukan kebaikan terhadap Kun-lun-pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi untuk mencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid Kun-lun-pai juga. Aku hanya mohon petunjuk petunjukmu.”

Beng San tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan suhunya agar supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya seorang sastrawan muda yang berhati mulia dan yang sudah memberi pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawa. Tentu saja Beng San terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta petunjuknya.

“Saudara Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah? Hanya kuharap saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu sudah membuktikan bahwa kau diincar oleh musuh-musuh gelap. Kwee Sin menurut kabar telah memihak pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka mencari dia sama artinya dengan memasuki gua harimau dan lubang naga. Apalagi kalau diketahui bahwa kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menangkap Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya.”

Bun Lim Kwi menjura dan memberi hormat.
“Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu. Semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan perjalanan.”

Beng San menjadi makin suka kepada pemuda Kun-lun-pai yang amat sopan dan merendah ini. Diam-diam dia membenarkan diri sendiri yang hendak memenuhi pesan terakhir dari ayah pemuda ini.

Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya lebih lama lagi karena pemuda ini masih selalu gelisah kalau memikirkan perginya Bi Goat yang mengejar Toat-beng Yok-mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-cu Siang-kiam dan disana masih ada orang yang dia duga adalah kakaknya dan yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula.

Apalagi sekarang muncul Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-beng Yok-mo, dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.

Dengan cepat Beng San lari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam dia tidak melihat bayangan gadis itu maupun bayangan Toat-beng Yok-mo. Tentu dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain.

Beng San kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, pertemuan yang hanya sebentar itu tidak mencukupi baginya. Aku harus kesana pikirnya. Harus ke Min-san. la teringat akan Song-bun-kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah orang sakti itu selalu memusuhinya? Malah bermaksud membunuhnya kalau tidak dapat merampas Im-sin Kiam-sut? Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu. Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-bun-kwi, asal dia bisa dapat bertemu dengan Bi Goat!

“Ah, tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia? Setelah semua tugas selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat,”

Setelah mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi Goat. Urusan merampas kembali Liong-cu Siang-Kiam bukanlah urusan yang terlalu mendesak, tidak perlu dia tergesa-gesa. Akan tetapi urusan mencari Kwee Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang kakaknya, Tan Beng Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki kota raja.

Kwee Sin kabarnya bekerja sama membantu Ngo-lian-kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol, adapun orang yang dia duga kakaknya itu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan penyelidikan untuk mencari Kwee Sin.

**** 103 ****





No comments:

Post a Comment