Ads

Saturday, October 6, 2018

Raja Pedang Jilid 093

Wajah kakaknya sering kali terbayang semenjak dia dilemparkan ke sungai oleh Song-bun-kwi dahulu itu. Biarpun dia mengenal wajah kakaknya ketika dia masih kecil, namun wajah orang muda yang sekarang duduk dengan anteng di kursi itu tak salah lagi. Tapi benarkah? Bagaimana kalau dia keliru? Bukan tak mungkin ada orang lain ber she Tan yang wajahnya ada persamaan dengan wajah kakaknya!

Setelah gangguan kecil ini mereda, yaitu kedatangan Souw Kian Bi dan temannya, perhatian semua orang dialihkan lagi kepada dua orang ketua yang berdiri saling berhadapan itu.

Memang Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin masih berdiri di tempat tadi. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga masih berdiri di belakang suhunya, sedangkan pemuda yang oleh Pek Gan Siansu diaku sebagai muridnya termuda, juga masih berdiri disitu tak bergerak seperti patung. Wajahnya yang tampan dari pemuda tinggi tegap ini malah agak pucat, matanya redup.

Agaknya Souw Kian Bi segera dapat merasai ketegangan suasana ini, maka diapun tidak banyak tingkah lagi dan segera menujukan perhatiannya ke dalam.

Pek Gan Siansu mulia membuka mulut.
“Lian Bu toyu, seperti kukatakan tadi, segala apa di dunia ini, betapapun hebat manusia berusaha, keputusannya diambil oleh Thian Yang Maha Kuasa. Buktinya, kau dan aku dua orang tua berusaha untuk kebaikan, untuk eratnya hubungan antara kita dengan jalan menjodohkan murid-murid kita. Akan tetapi apa dayanya, agaknya Thian menghendaki lain. Betapapun juga, kita jangan habis daya upaya, sahabatku. Oleh karena itu, kedatanganku ini selain memberi selamat atas ulang tahun Hoa-san-pai, juga ingin aku mengajukan sebuah usul baik kepadamu demi untuk meredakan suasana panas dan sekalian untuk menyambung kembali persahabatan yang hampir diputus oleh sepak terjang anak-anak murid kita.” la berhenti dan mengambil napas panjang.

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk.
“Ucapan-ucapanmu dapat pinto terima. Akan tetapi tentang usul yang hendak kau ajukan itu, hemmm….. baiklah kita lihat-lihat dulu. Usul apakah gerangan itu, Siansu?”

Kakek Kun-lun-pai itu menengok ke arah pemuda yang membawa pedang pusaka, lalu dia tersenyum berkata,

“Lian Bu totiang, pemuda ini adalah muridku yang termuda, dia ini adalah anak tunggal dari mendiang muridku Bun Si Teng…..”

la berhenti sebentar mengumpulkan tenaga mengusir ingatan bahwa Bun Si Teng muridnya itu tewas di tempat ini.

“Dia inilah ahli warisku satu-satunya dan dia pula yang kuserahi pedang pusaka Kun-lun-pai, kelak menggantikan kedudukanku. Muridku yang termuda ini bernama Bun Lim Kwi, berusia dua puluh dua tahun. Lian Bu totiang, jika kau masih suka melihat mukaku, masih suka mengingat perhubungan lama dan masih ada niat baik untuk menyambung kembali tali persahabatan, aku datang untuk mengusulkan kepadamu agar diadakan pengikatan jodoh antara muridku ini dengan seorang diantara cucu muridmu perempuan.”

Setelah berkata demikian, Pek Gan Siansu menengok ke arah Thio Bwee dan Kwa Hong yang seketika menjadi pucat.

Hening di tempat itu. Semua orang memandang dengan hati tegang. Hebat sekali usul ini, sekaligus ketua Kun-lun-pai itu seperti orang takluk dan menyerah kalah, mengulurkan jalan perdamaian.

Muka pemuda itu, Bun Lim Kwi, juga pucat sekali dan perlahan-lahan dua titik air mata mengalir keluar dari kedua matanya yang dia meramkan. Memang hebat usul dari gurunya ini. Bayangkan saja, Bun Lim Kwi adalah putera tunggal Bun Si Teng yang tewas di Hoa-san-pai dalam pertandingan melawan Hoa-san Sie-eng! Dan dia, putera tunggalnya, hendak dijodohkan dengan anak dari pembunuh ayahnya! Kedua tangannya yang memegang pedang pusaka gemetar.

Semua ini terlihat oleh Beng San dari tempat sembunyinya. la sudah mendekat dan bukan main terharu hatinya. Terngiang dalam telinganya pesan terakhir dari mendiang Bun Si Teng ketika hendak menghembuskan nafas terakhir dahulu. Bagaimana kata-kata terakhir itu?…………. kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku, Bun Lim Kwi…..”

Biarpun Beng San tak pernah mengeluarkan ucapan janji itu, akan tetapi di dalam hatinya dia tak pernah melupakan kata-kata terakhir yang merupakan pesan itu. Dan sekarang dia melihat Bun Lim Kwi berdiri disana, di belakang Pek Gan Siansu sebagai murid kakek itu, sebagai ahli waris tunggal dari Kun-lun-pai!





Dan dia melihat Bun Lim Kwi hendak dijadikan alat pendamai antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. la merasakan betapa hebatnya keperihan hati pemuda tinggi tegap itu, disuruh mengawini anak musuh besar yang telah membunuh ayahnya.

Dan diam-diam simpati di hati Beng San tercurah kepada pemuda tinggi besar itu, perasaan kasihan dan juga kagum. la melihat Bun Lim Kwi sebagai seorang pemuda yang amat berbakti kepada guru, seorang pemuda yang baik dan juga dapat menahan hati. Terharulah dia melihat dua butir air mata yang mengalir turun dari sepasang mata Bun Lim Kwi.

Wajah Lian Bu Tojin juga berubah. Nampaknya kakek ini bimbang sekali, terpukul dan bingung oleh usul yang tak tersangka-sangka dari Pek Gan Siansu itu. Sampai lama kakek ini hanya memandang kepada Pek Gan Siansu yang masih berdiri tegak memegangi tongkat bambunya. Kemudian memandang kepada Bun Lim Kwi yang masih tunduk sambii memegangi pedang pusaka.

Terharu juga hati Lian Bu Tojin. Terang bahwa biarpun hatinya hancur, pemuda Kun-lun pai itu tunduk akan keputusan gurunya, seorang murid yang baik dan patuh. Akhirnya ketua Hoa-san-pai ini menengok ke arah murid-muridnya, kemudian setelah melihat pandang mata keras bercahaya dari mata Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dia berkata kepada Pek Gan Siansu.

“Hebat sekali usulmu, Siansu. Benar-benar pinto tidak pernah menyangkanya bahwa usaha untuk jalan damai yang kau adakan sampai demikian jauhnya. Untuk maksud baik itu saja pinto sudah wajib menghaturkan terima kasih kepadamu. Akan tetapi, urusan yang kau usulkan ini bukanlah urusan kecil, dan sungguh pinto merasa ragu-ragu dan bahkan tidak berani memutuskannya. Ada banyak sahabat yang duduk menjadi saksi disini, dan kiranya sudah sepatutnya kalau kita minta nasihat dan pertimbangan mereka. Akan tetapi tentu saja lebih dahulu aku harus minta pendapat kedua orang muridku, karena mereka adalah orang-orang yang Secara tangsung tersangkut urusan pertentangan dengan fihakmu.”

“Baiklah, Lian Bu toyu, kau bicarakanlah urusan ini, aku masih sabar menanti.”

Kakek itu lalu melangkah mundur dua langkah dan berdiri bersandar pada tongkatnya. Bun Lim Kwi juga melangkah mundur dan menggunakan kesempatan ini untuk mengusap dua titik air mata dari pipinya dengan ujung lengan bajunya.

“Tin Siong, Sian Hwa, bagaimana pendapat kalian?”

Lian Bu Tojin bertanya kepada dua orang muridnya dengan suara nyaring. Memang kakek ini sengaja hendak merundingkan usul ini secara terbuka sehingga banyak saksi akan melihat bahwa Hoa-san-pai tidak sekali-kali mempunyai maksud buruk.

“Suhu, teecu dalam urusan besar ini hanya menyerahkan segala keputusan kepada Suhu. Hanya teecu mengharap kelonggaran Suhu supaya mengingat bahwa Hong-ji sudah teecu rencanakan tentang calon suaminya.”

Dengan ucapan ini secara halus Kwa Tin Siong tidak menyetujui kalau puteri tunggalnya yang akan dijadikan pengikat antara dua partai itu dan menjadi jodoh putera Bun Si Teng!

“Suhu, teecu rasa amat tidak baik kalau mengulang lagi urusan busuk yang pernah menjadi sebab penghinaan terhadap Hoa-san-pai kita. Apakah kita tidak kapok setelah apa yang terjadi dengan diri teecu? Orang Kun-lun-pai tak dapat dipercaya. Siapa tahu kalau-kalau urusan perjodohan nanti hanya akan menghancurkan penghidupan seorang murid lama dari Hoa-san-pai seperti yang telah teecu derita?” Sampai disini tak tertahan lagi air mata bercucuran dari mata Liem Sian Hwa.

Lian Bu Tojin menarik napas panjang
”Pek Gan Siansu kau lihat, pinto tak dapat memutuskan usulmu itu begitu saja, harus pinto mendengarkan keterangan fihak lain.” la menoleh ke arah Beng Tek Cu,”Beng Tek Cu toyu, kau sebagai sahabat baikku, coba kau keluarkan pendapatmu tentang usul fihak Kun-lun-pai agar hati pinto tidak bimbang ragu.”

Beng Tek Cu, tosu tokoh Bu-tong-pai yang tinggi besar dan jujur ini segera bangkit berdiri lalu terdengar suaranya yang keras dan parau.

“Pinto adalah orang luar, akan tetapi karena Lian Bu toyu sudah menaruh penghargaan terhadap pendapat pinto, baiklah pinto keluarkan pendapat secara jujur dengan terus terang. Terserah kalau ada pihak yang tidak setuju pendapat pinto ini, pokoknya bagi pinto, pendapat ini keluar dari hati yang jujur. dan tidak berat sebelah.” Sampai disini tosu tinggi besar ini melirik ke arah Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio

“Beng Tek Cu toyu, teruskanlah” Lian Bu Tojin mendesak.

”Pinto yang sudah mendengar seluruhnya tentang persoalan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai dari Lian Bu toyu, dapat menarik kesimpulan bahwa segala pokok pangkal persoalannya ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin. Sudah jelas bahwa dia bersekongkol dengan fihak Ngo-Jian-kauw mengadakan kerusuhan, membunuh orang tua Liem-lihiap dan karenanya dia menyeret Kun-lun-pai ke dalam permusuhan dengan fihak Hoa-san-pai. Karena dia pula maka dua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai sampai tewas dalam pertandingan di Hoa-san, dan permusuhan menjadi berlarut-larut.”

“Pertandingan apa?” tiba-tiba Liu Ta, jago Khong-tong-pai berdiri dan mencela, suaranya tinggi kecil tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek gemuk. “Kedua Bun-enghiong itu datang berdua saja, mengantarkan sute mereka Kwee Sin naik ke puncak. Naik berdua saja berarti mempunyai maksud baik, akan tetapi tahu-tahu mereka terbunuh disini. Aku heran, kalau tidak dikeroyok mana bisa dua orang gagah she Bun itu tewas?”

“Liu-sicu'” Lian Bu Tojin menegur, mendahului Beng Tek Cu yang sudah memandang dengan mata melotot. “Pinto harap Liu-sicu sudi bersabar. Tentu saja sebagai tamu dan saksi, Sicu berhak mengukirkan pendapat, akan tetapi tunggulah saat dan giliran”

Ucapan Lian Bu Tojin penuh kehalusan, namun di dalam kehalusan ini tersembunyi celaan dan kekerasan. Semua ini dilakukan oleh ketua Hoa-san-pai, selain untuk menjaga keangkeran partainya, juga untuk mencegah terjadinya bentrokan antara Beng Tek Cu dan Liu Ta.

Liu Ta menjadi merah mukanya, mengangguk dan duduk kembali. Beng Tek Cu juga merah mukanya dan melanjutkan,

“Tadi sudah pinto katakan, pendapat pinto keluar dari hati yang jujur, tak peduli diterima atau tidak oleh yang mendengarkan. Pinto ulangi lagi, pokok pangkal urusan permusuhan ini terjadi karena gara-gara Kwee Sin. Ketika itu menurut Lian Bu totiang, Kwee Sin ditolong dan dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo, guru dari ketua Ngo-lian-kauw. Disini saja sudah terbukti bahwa lagi-lagi Kwee Sin yang bersekongkol dengan fihak Ngo-lian-kauw dan akhir-akhir ini kita semua sudah mendengar sepak terjangnya membantu Ngo-lian-kauw. Oleh karena itu, menurut pendapat pinto begini, usul Pek Gan Siansu untuk mengakhiri permusuhan dengan ikatan jodoh antara murid Kun-lun-pai dan murid Hoa-san-pai adalah usul yang amat sempurna dan boleh dipuji dan dihormati. Akan tetapi sudah tentu saja luka di hati fihak Hoa-san-pai takkan terobati kalau di samping usul baik ini fihak Kun-lun-pai tidak mengambil tindakan yang tegas terhadap bekas anak muridnya, Kwee Sin. Maka sebaiknya fihak Hoa-san-pai mengadakan syarat bahwa Kwee Sin harus dapat diantar ke Hoa-san-pai oleh fihak Kun lun mati atau hidup, dan setelah itu barulah diadakan perundingan tentang ikatan jodoh. Nah, pinto sudah bicara, terserahlah!” la duduk kembali menghapus keringatnya dengan ujung lengan baju.

Liu Ta meloncat berdiri, memandang kepada Pek Gan Siansu.
“Siansu, harap kau orang tua izinkan saya bicara untuk membersihkan nama baik Kun-lun yang dicoreng hitam oleh orang sombong!”

Pek Gan Siansu sejak tadi sudah menjadi muram wajahnya, hatinya kecewa bukan main bahwa maksud baiknya ternyata tidak mendapatkan sambutan dengan baik. la sudah ribut lebih dulu di Kun-lun dengan muridnya Bun Lim Kwi sebelum datang ke Hoa-san. la sudah menggunakan banyak kata-kata untuk membujuk Lim Kwi supaya mentaati kehendaknya dan mau dijodohkan dengan anak murid Hoa-san-pai demi untuk memperbaiki dan melenyapkan ketegangan.

Ketua Kun-lun-pai ini maklum betapa beratnya hal ini bagi Lim Kwi akan tetapi karena ketaatan dan kebaktiannya, pemuda itu akhirnya tunduk. Siapa kira disini kembali dia menghadapi pertentangan-pertentangan yang agaknya akan berakibat tidak baik.

Sekarang melihat fihaknya dibantu orang, tentu saja dia hanya dapat mengangguk sambil berkata,

“Boleh saja, Liu-enghiong, hanya kuharap kau tidak melupakan maksud baik yang kubawa jauh-jauh dari Kun-lun.”






No comments:

Post a Comment