Ads

Tuesday, October 2, 2018

Raja Pedang Jilid 084

Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi, akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.

“Siapa kau…..? Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!” la mengusir pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.

“Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukan orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin.” Pemuda tampan pucat itu berkata sambil tersenyum memikat. “Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta daripada Kui Lok…..”

“Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau masuk tanpa ijin. Pergilah sebelum pedangku bicara!”

Mendadak Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.

Adapun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan dimana? la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi diapun ingin menyaksikan sampai dimana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu.

Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin tertawa mengejek.
“Bagus sekali! Memang betapapun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai dimana kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu…..”

“Keparat, lihat pedang!”

Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah dada Giam Kin. Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan dapat berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan makin pucat.

“Bagus! Kau benar-benar nona manis berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!”

Sambil berkata demikian pemuda itu meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh. Benda ini tak salah lagi tentu sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya seperti ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekor ular dengan cara memegang gagang pedang.

“Ah, diakah…..??”

Beng San tiba-tiba teringat. Terbayanglah dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor ular berbisa.

Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya! Di waktu kecilpun sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani kelaparan secara kejam sekali. Apalagi sekarang. Orang macam ini harus menjadi musuhnya.

Akan tetapi Beng San tidak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukanlah seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apalagi, bukankah dia berusaha menyembunyikan kepandaiannya?

la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap menolong apabila gadis itu terancam bahaya. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apalagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya?

Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya.





Akan tetapi kalau gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi. Suling berbentuk ular yang dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh gerakan-gerakannya, penuh dengar gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak mengherankan apabila Thio Bwee perlahan-lahan terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling ular.

Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan mulutnya tiada hentinya tersenyum sambil mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.

“Kau lihat, nona manis. Bukankah aku cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu. Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku…..”

Mendengar ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tidak waras lagi otaknya, patut disebut edan!

Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu akan “mencinta” setiap orang wanita yang cantik dan manis, apalagi seperti Thio Bwee!

Kalau ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biarpun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.

“Murid Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!”

Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sukar diketahui bagian tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini.

Inilah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang disebut jurus Kwan-kong-sia-ciok (Kwan Kong Menahan Batu). Ujung pedang di tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang demikian lihainya seperti Giam Kin.

Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apabila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan jurus Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik dia terkesiap dan kaget, akan tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuh ke belakang.

Tubuhnya menggelundung terus kesana kemari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-kong-sia-ciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali.

Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya dan suling ularnya bergerak menyambar-nyambar dari bawah mengarah kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki, kadang-kadang meloncat ke atas menyerang pundak.

Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-mo-po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.

“Ha-ha-ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak mau, apalagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukankah itu baik sekali?”

Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi! Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, namun sia-sia, pedangnya seperti berakar pada senjata lawan.

Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk maklum dan kagum akan kehebatan Iweekang dari pemuda pucat itu.

“Ha, nona jelita. Kau lihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka……?” kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali.

Tangan kirinya bergerak dan secara kurang ajar dia mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang berkulit halus!

Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya terbetot oteh lawan dan terlepas dari tangannya.

Betapapun juga, murid Hoa-san-pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la menubruk maju mengirim pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali. Memang hebat Thio Bwee, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang sudah hampir kalah.

Kenekatannya ini sama sekali tak pernah terduga oleh Giam Kin yang memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur dan pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.

Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.
“Siapa berani bermain gila di Hoa-san?”

Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, tersenyum nakal memandang kepada dua orang yang baru datang. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali, biarpun sudah lebih empat puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah.

Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh. Sekali pandang saja Beng San dengan girang mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang tersohor.

Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya. Sebaliknya Kwa Tin Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu biarpun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu, bukanlah orang sembarangan.

Di lain fihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya,

“Siapa berani main gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Suhengnya gagah perkasa dan tampan, sumoinya cantik jelita dan lihai, benar-benar mengagumkan…..”

Ia tertawa lagi dan aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik. Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata.

“Sahabat di depan siapakah, dari partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?”

Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, namun sikapnya masih penuh sifat main-main dan mengejek.

“Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-san-pai dan melihat-lihat. Siapa tahu sampai disini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik murid Hoa-san-pai, ingin berkenalan secara baik-baik…..”

Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu berkata lagi,

“Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang mulia?”

“Ha-ha-ha, orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih raja di utara….. ha-ha-ha…..”

Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata,

“Apakah yang dijuluki orang Siauw-ong-kwi…..?”

Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya.
“Kau juga berani menyebut suhuku Setan Kecil? Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar kau takkan berkepala lagi!”






No comments:

Post a Comment