Ads

Tuesday, October 2, 2018

Raja Pedang Jilid 082

la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun? yang agaknya musuh besarnya.

“Sayang aku bukan she Bun,” dia mencoba menghibur.

Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.
“Kau maksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat.”

Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya yang hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata,

“Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku kesana.”

Dara berpakaian hijau itu tersenyum.
“Aku pun lupa.”

la segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba.

Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu.

“Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganrnu. Pertolongan menyeberangkan aku dari terutama sekali….. pertolongan yang kau berikan ketika aku tenggelam. Nona, keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri disini berperahu? Dimana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri disini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu…..”

Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.

Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu, kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan la menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu.

Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika la berhasil membuka mulut.

“Nona….. kau kenapakah…..? Jangan menangis, ahhh….. maafkan kalau tadi aku berkata lancang menyinggung perasaanmu…..”

Tangis dara itu makin menjadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.

“Aku sebatangkara….. ah, nasibku sengsara…..”

Gadis itu bangun duduk, dan dilain saat la telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.

“Tenanglah,.. diamlah….. Nona, jangan menangis. Ah, kau membuat aku ikut bersedih…..”

la tak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang.

Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus,
“….. ibuku sudah meninggal….. ayah terbunuh orang….. aku yatim piatu, sebatangkara….. tiada orang tiada tempat tinggal….. selalu menerima hinaan orang….. baru kau….. baru kau seorang yang baik kepadaku…..”


“Hemmm, kasihan…..” dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri.

la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatangkara, tidak tahu dimana adanya orang tuanya.

“Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Akupun sebatangkara, akupun hidup seorang diri di dunia yang luas ini.”

Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang amat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.

“Kau baik sekali….. kau baik sekali…..” berkali-kali gadis itu berbisik.

“Kaupun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya.”





Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.

“Aku tidak tanya namamu, kaupun tak usah tahu namaku…..”

“Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?”

“Panggll saja aku Eng….. sudahlah, kau kenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatangkara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan….. alangkah sayangnya….. orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah….. ah, kalau saja kau pandai silat….. pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang. diri…..” la menangis lagi.

Beng San bangkit berdiri, menarik napas panjang.
“Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.”

la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.

Dengan bekal pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-lian-pai kepadanya, Beng San dapat melakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan pakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan.

Lima belas hari kemudian dia telah tiba di daerah Hoa-san dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai. Hatinya berdebar ketika dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu. Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja.

Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman bunga dimana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Apakah mereka berada pula disini? Dan bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai? Ah, diantara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka kalau mereka melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan mengamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya berdebar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang kelenteng Hoa-san-pai.

Tiba-tiba Beng San melompat ke belakang pohon lalu menyelinap menyembunyikan diri. Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke dalam sebatang pohon besar yang amat lebat daunnya.

la bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai. Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah.

Yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu, akan tetapi gadis ini kelakuannya amat mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman!

Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan kegembiraan sekaligus, pakaiannya indah akan tetapi serba putih seperti orang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala dan sebatang pedang tergantung di pinggang.

Adapun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi gerakannya lemah gemulai namun mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli. Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan dan halus terpelihara, sepasang matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak.

Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang dibelakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya ini membayang keangkeran dan kegagahan.

Setelah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar itu takkan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa lagi kalau bukan si kuntilanak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain orang memiliki mata seperti itu?

Juga gadis kedua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tidak seputih Kwa Hong, namun tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah kemanisannya. Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras.

Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakaian serba putih, namun tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, ia membawa sebatang pedang yang dironce putih pula.

“Hemmm, seperti menonton sandiwara ? Wayang saja,” pikir Beng San geli, apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dulu nakal-nakal ini?”

Teringat dia bahwa dia sendiripun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Tak terasa lagi mengingat ini, Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.

Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan dan mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu berkata,

“Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa semenjak dulu aku selalu mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta ….”

“Sudahlah, Lok-ko, jangan diulang-ulang lagi,”

Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian tiba-tiba matanya bersinar nakal ketika ia berkata,

“Tak enak bicara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu.”

Kui Lok memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biarpun ditumbuhi rumput hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di depan orang yang lebih tinggi tingkatnya!






No comments:

Post a Comment