Ads

Thursday, September 6, 2018

Raja Pedang Jilid 038

Beng San memang belum pernah membohong, kecuali kalau sedang main-main. Sekarang dia menghadapi kakek guru Giam Kin yang lihai ini dengan main-main. la diam-diam marah kepada kakek ini yang masih saja membelenggu kedua tangannya dengan ujung lengan baju.

la menganggap kakek ini jahat, dan apa salahnya membohongi dan mempermainkan seorang jahat? Ketika dia dididik di kelenteng dahulu dia memang selalu diajar supaya jangan membohong, jangan menipu dan merugikan orang lain. Sekarang dia, andaikata benar membohong, toh tidak akan merugikan kakek ini, sebaliknya dia yang dibikin rugi, dibelenggu tanpa dapat melepaskan diri.

“Guruku lihai sekali, kalau dia datang, sekali ketok kepalamu akan benjut-benjut!”

Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. Tentu saja dia berani mengejek karena di dunia ini, siapakah orangnya yang akan mampu sekali ketok membikin kepalanya benjut? Sedangkan yang kepandaiannya boleh ditingkatkan sejajar dengan diapun hanya beberapa gelintir saja manusia.

“Ha-ha-ha, kenapa kau bisa pastikan dia akan menang daripada aku?”

“Guruku biarpun iblis, tapi amat lihai dan gagah, tidak seperti kau ini kakek tua beraninya hanya menyerang dan membelenggu seorang anak kecil!”

Merah wajah Siauw-ong-kwi disindir begini. Di dunia ini, jarang sekali ada orang berani membantah kata-katanya, apalagi mengeluarkan ejekan dan sindiran seperti bocah ini!

“Bocah edan, siapa sih gurumu itu?”

“Kakek pikun!” Beng San balas memaki. “Lepaskan dulu kedua tanganku, baru aku mau memberi tahu.”

“Kalau tidak kulepas?”

“Biar kau bunuh aku, takkan sudi aku memperkenalkan nama besar guruku kepada seorang kakek pengecut yang beraninya hanya kepada anak-anak kecil.”

“Suhu, kenapa layani monyet gila itu? Gasak saja kepalanya, habis perkara!” tiba-tiba Giam Kin berseru melihat suhu nya bercakap-cakap dengan Beng San.

Beng San tertawa mengejek.
“Gurunya pengecut, muridnya lebih pengecut lagi. Kalau memang berani, hayo kita bocah sama bocah mengadu kepalan tangan, biar gurumu menandingi guruku.”

Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja selain ilmunya tinggi, juga batinnya sudah amat kuat. Akan tetapi sekarang menghadapi Beng San dan mendengar sindiran-sindiran dan ejekan-ejekannya, perutnya terasa panas juga. Beberapa kali dia disebut pengecut. Kalau yang mengucapkan kata-kata ini seorang tokoh kang-ouw, tentu dia takkan mau mengampuninya lagi.

Terhadap Beng San dia kewalahan. Makin dia turun tangan, tentu makin rendah pandangan bocah ini terhadapnya. Memang kalau dipikir memalukan sekali bahwa dia, seorang tokoh besar, membelenggu seorang bocah yang masih ingusan.

“Bocah keparat, siapa pengecut?” la menggerakkan tangannya dan sekaligus terlepaslah kedua tangan Beng San dari libatan ujung tangan baju. “Nah, kau sudah terlepas, hayo sekarang datangkan itu gurumu yang berbau tai anjing! Siapa cecunguk yang menjadi gurumu itu?”

Beng San sejak tadi sudah berpikir tentang ini. Sebetulnya dia mempunyai banyak guru, pikirnya. Pertama-tama tentu saja para hwesio di Kelenteng Hok-thian-si di Propinsi Shan-si yang menjadi gurunya karena telah mengajarkan tentang membaca menulis. Kemudian dia pernah belajar tiga macam ilmu dari Hek-hwa Kui-bo sehingga nenek itu boleh juga disebut gurunya. Setelah itu, yang terakhir dan yang telah mengakuinya sebagai murid, adalah kedua orang suhunya yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam.

Akan tetapi Beng San adalah seorang bocah yang cerdik. la tidak mau menyebut nama kedua orang gurunya ini karena maklum bahwa keduanya mempunyai rahasia, yaitu menyimpan sepasang kitab Im-yang-sin-kiam yang telah terampas oleh Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Kalau dia menyebut nama Phoa Ti dan The Bok Nam, jangan-jangan kakek aneh ini akan memaksa membawanya kepada dua orang yang sudah mati itu dan buntutnya akan menjadi panjang. Maka dia rnengambil keputusan dan menjawab.

“Guruku yang kau anggap berbau tai anjing itu berjuluk Song-bun-kwi!”





Berubah wajah Siauw-ong-kwi mendengar disebutnya nama ini. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera tertawa bergelak.

“Kakek tua bangka baju putih itu gurumu? Hah, jangan kau bohong. Dia yang hampir gila karena anaknya yang goblok, mana punya murid lagi? Andaikata benar, akupun tidak takut pada…..”

“Siauw-ong-kwi, dia tidak bohong, dia benar muridku!”

Tiba-tiba terdengar suara dari jauh. Suara ini seperti suara guntur terdengar dari jauh sekali, akan tetapi tiba-tiba bertiup angin dan sebelum gema suara lenyap, orang yang bicara tadi sudah berdiri disitu.

Inilah Song-bun-kwi, kakek baju putih yang mukanya masih merah segar padahal usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Inilah si Setan Berkabung, tokoh besar dari dunia barat yang amat ditakuti orang, bukan hanya karena kepandaiannya yang tinggi, terutama sekali karena hatinya yang kejam tak kenal ampun.

Cepat sekali tangan Siauw-ong-kwi bergerak dan tahu-tahu kedua lengan tangan Beng San sudah dicengkeramnya.

“Song-bun-kwi, mau apa kau muncul di dunia? Kalau niatmu buruk, muridmu akan kubunuh lebih dulu, baru kau akan kukirim ke neraka!” kata Siauw-ong-kwi mengancam.

Song-bun-kwi mengeluarkan suara yang mirip suara wanita menangis seperti yang pernah didengar oleh Beng San ketika manusia aneh ini dulu datang merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam kemudian bertempur melawan Hek-hwa Kui-bo.

Tiba-tiba saja tubuh kakek itu melayang ke arah Giam Kin. Anak ini yang sudah banyak juga pengalamannya di dunia kang-ouw tahu bahwa kakek yang menangis ini adalah seorang lawan, maka dia memapaki dengan pukulan tangan kanannya.

“Kin-ji (Anak Kin), jangan!” teriak Siauw-ong-kwi, akan tetapi terlambat.

Pukulan tangan kanan Giam Kin sudah bersarang ke dalam perut Song-bun-kwi dan….. tangan kecil itu seperti telah menancap ke dalam perut, tak dapat dicabut pula! Giam Kin berdiri dengan mata mendelik dan tubuhnya kaku tak dapat bergerak. Ternyata dia telah “ditangkap” oleh perut manusia aneh itu.

“Heh-heh-heh, Siauw-ong-kwi. Dulu di puncak salju Gunung Alta-san kita sudah bertanding dua hari dua malam, sedikitnya sehari penuh aku baru akan dapat mengalahkanmu. Aku tidak ada waktu untuk melayani kau orang buruk. Bocah setan bernama Beng San itu bukan muridku, akan tetapi aku membutuhkannya. Hayo kau lempar dia kepadaku, kutukar dengan muridmu yang tidak becus apa-apa ini. Satu…… dua….. tiga…..!”

Siauw-ong-kwi yang maklum bahwa manusia Seperti Song-bun-kwi tidak pernah main-main dan ucapannya harus dianggap sebagai keputusan terakhir, cepat dia melemparkan tubuh Beng San ke arah kakek itu. Berbareng pada saat itu juga, perut Song-bun-kwi melembung dan terlemparlah tubuh Giam Kin ke arah Siauw-ong-kwi.

Beng San melayang ke arah Song-bun-kwi dan dengan mudahnya kakek ini menangkap lengannya, terus sambil mengeluarkan suara menangis kakek ini membawanya lari seperti terbang cepatnya pergi dari tempat itu. Adapun Siauw-ong-kwi ketika menerima tubuh Giam Kin, terkejut dan mengutuk.

“Song-bun-kwi iblis jahat!”

la melihat bahwa tubuh Giam Kin mati separoh yaitu bagian kanan. Ternyata bahwa ketika melemparkan anak ini dari perut. kakek itu mengalir hawa pukulan melalui tangan kanan Giam Kin dan yang membuat tubuh Giam Kin bagian kanan menjadi lumpuh dan mati!

Inilah kejamnya hati Song-bun-kwi yang memang luar biasa. Siauw-ong-kwi biarpun termasuk orang aneh yang tidak peduli akan kejahatan, masih tidak mau melukai Beng San ketika dia melemparkan anak itu.

Melihat keadaan muridnya, cepat Siauw-ong-kwi menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan kiri muridnya dan dengan pengerahan Iweekangnya dia “mendorong” keluar hawa pukulan Song-bun-kwi dari sebelah kanan tadi, keluar dari tubuh muridnya.

Setelah berusaha kurang lebih lima menit barulah dia berhasil. Keadaan Giam Kin normal kembali dan sambil menggeleng kepala menyusuti peluh di keningnya Siauw-ong-kwi mengeluh.

“Berbahaya sekali setan tua bangka itu…..”

Kemudian tanpa banyak cakap dia lalu mengajak muridnya pergi dari situ. Tua bangka itu sekarang lihai sekali, pikirnya, jangan-jangan dia telah mendapatkan sumber Im-yang. la merasa berkhawatir dan berjanji akan menyelidiki akan hal ini dan kalau ternyata dugaannya betul, dia harus berusaha merampasnya.

**** 038 ****





No comments:

Post a Comment