Ads

Wednesday, September 5, 2018

Raja Pedang Jilid 035

Kata-kata aneh ini dia nyanyikan sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang di kedua tangan untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat.

Bocah ini bukan lain adalah Beng San. Seperti telah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tidak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat Ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa “Yang” dalam tubuh anak ini dan membunuhnya.

Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San daripada hawa pukulan Jeng-tok-ciang dari Koai Atong. Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya.

Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam. Adapun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang-sin-kiam yang merupakan pecahan daripada Im-yang Bu-tek-cin-keng, Ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima ratus tahun yang lalu.

Ilmu Im-yang-sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah memiliki ilmu yang hebat.

Hanya anak ini tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi perasaan panas atau dingin di tubuhnya. Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa “Im” secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan.

Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa “Yang” di tubuhnya bekerja. Hanya kalau hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari apabila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apabila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau!

Pada saat itu hawa udara amat panasnya maka tidak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa “Im” otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, semenjak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pohon-pohon gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.

“Eh, mata yang sial. Dimana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat kukubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!”

Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah. Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah inipun semenjak kemarin hari melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan.

Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-fiisafat kuno tentang perikebajikan dan perikemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, tidak tega hatinya dan dia mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.

Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar, dan selalu bertemu mayat, Beng San menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,

“Sayang…… sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati disini. Anehnya, orang mati kelaparan kenapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh…..aneh…..”

Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri.

Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu rneter lebih dalamnya.

Melihat tubuh tinggi besar yang masih baik itu, Beng San merasa kasihan kalau menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam. Ternyata tanah itu bawahnya rnerupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.





Setelah menggali cukup, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, namun benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah.

Beng San kaget ketika merasa betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubut itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Panas tubut Tan Hok dianggapnya karena terik sinar matahari.

Dengan perlahan dan hati-hati Beng San meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik

“Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai.”

Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara mengubur mayat.

Tiba-tiba dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takui tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu.

“‘Mayat” tadi bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot merah, mulutnya berteriak-teriak.

“Lapar….. lapar…..! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak boleh dimakan?”

Dan “mayat” itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan….. dimakannya dengan amat lahapnya.

Untuk sejenak Beng San berdiri seperti. patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa “mayat” itu makan tanah lempung merah dengan enaknya seperti orang makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya.

Perutnya memang amat lapar sekarang melihat orang makan demikian enaknya, biarpun yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, kearah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah dan…. membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.

“Wah, enak…..”

Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan tetapi juga bukan tidak enak, karena halus dan baunya harum. Setelah memasuki perut mendatangkan rasa kenyang juga. Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali karena dia sekarang dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek.

Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu sejenis tanah lempung yang halus dan memang tidak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.

“Mayat” itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat itu yang duduk didalam lubang kubur mendongak, memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata rnerah. Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.

“Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!”

Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, lalu tubuhnya meloncat keluar lubang sambil berteriak geram,

“Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!”

Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram kearah muka Beng San yang kehijauan.

Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhunya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajari semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu.

Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya bekerja.

“Hisss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukan urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?”

Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San miringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.

“Plakkk!” tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil sehingga lima pasang jari tangan saling genggam.

Beng San merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir hawa panas melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa “Im” yang luar biasa kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.

Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil seperti orang terserang demam.

Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi bukit es.

Makin lama tubuh Tan Hok makin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam. Tiga kali dia muntahkan darah hitam dan tubuh yang tadinya panas itu berubah dingin sekarang. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.

“Aduh….. aduh….. dingin…..!”

Tan Hok yang tadinya kaku tubuhnya itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.

Setelah tangannva terlepas dari tangan Beng San, lenyap rasa dingin yang menusuk jantung. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apalagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ. Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya.

Melihat bahwa dia berada di sawah, berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang mempunyai tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.

“Adik kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?”

Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat.
“Ha-ha-ha, Twako, kalau satu diantara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau….. apakah kau bukan siluman?”

Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasa, tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan ular Kim-tok-coa.

Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini, jangankan tentang penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang berada dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.

“Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?”

**** 031 ****





No comments:

Post a Comment