Ads

Wednesday, September 5, 2018

Raja Pedang Jilid 033

Kehidupan rakyat jelata pada masa itu di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan duniawi.

Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya mempergunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil.

Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan. Dimana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang amat hebat sehingga kelaparan merajalela.

Di sebelah utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh musim kering. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya.

Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan. Rakyat menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang bersembahyang, minta hujan minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya.

Dilain tempat, pun di kota-kota besar, para pembesar dan hartawan berpesta pora, berlumba menghamburkan arak dan gandum, berlebih-lebihan sampai membusuk gandum mereka di gudang, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan!

Sayang, Tuhan hanya dijadikan tempat pelarian bagi mereka yang menderita. Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan daripada kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama sekali bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusia jualah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan.

Bagaikan seorang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, lalu kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor dikala malam gelap tiba.

Penduduk daerah kering ini banyak yang sudah meninggalkan kampung halamanan, berbondong-bondong mengungsi ke selatan dimana daerahnya lebih mendingan apabila dibandingkan dengan daerah utara. Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka dianggap sebagai pengganggu, dan baru mereka itu bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Dusun-dusun di Utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga merupakan daerah mati.

Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya.

Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuahpun rumah makan. Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan.

Akan tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap. Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang orang mati kelaparan, ada yang sudah berbau busuk.

Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah dimana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandarig penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu.

Disana, ditengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tidak karuan. jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus sekali, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan kedua tangannya kakek ini menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.

“Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?”

la menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Ibu tanah…… kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang mengeluarkan air. Sekarang kau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya memakan kau? Ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut?”





Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata. Karena mulutnya sudah mengering, dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. la memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan!

Tan Hok cepat lari menghampiri dan…… dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan mata melotot lebar dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir diantara celah-celah jari tangannya.

“Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini harus menyaksikan ini semua…..?” la berlutut di dekat mayat kakek itu dan menangis.

Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.

“Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini…..” doanya.

Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat yang menggeletak di tepi jalan.

Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya. Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.

“Siluman pemakan bangkai!”

“Bikin mampus iblis jahat ini!”


Belasan batang senjata seperti hujan menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran.

Akan tetapi sekali sampok dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata terpental dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan terhadap orang-orang ini yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.

“Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?” Tan Hok bertanya dengan suaranya yang menggeledek.

“Kaulah setan pemakan bangkai!” seorang diantara mereka memberanikan diri memaki.

“Aku tak pernah makah bangkai!” jawab Tan Hok.

Orang-orang itu memandang penuh perhatian, ragu-ragu.
“Habis kau apakan mayat-mayat tadi?”

“Aku kubur mereka. Kalian lihat, yang ini terakhir.” la menuding ke arah lubang yang dia gali dimana mayat terakhir telah dia masukkan.

Orang-orang itu melongok ke dalam lubang.
“Apa tubuhnya masih utuh? Apa tidak ada bagian yang dimakannya?”

Demikianlah mereka bertanya-tanya. Ketika melihat bahwa mayat itu memang maslh utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada yang menangis ada yang minta ampun. Seorang kakek yang mengepalai mereka berkata.

“Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka…..”

“Kasihan kami orang-orang kelaparan…..” kata orang ke dua.

Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel,
“Kalian orang-orang gendeng, mengganggu saja!”

la lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat.

Kakek yang memimpin rombongan ini berkata,
“Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tak kuat menahan laparnya. Kami kira kau itulah orangnya…..”

Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, biarpun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.

“Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”

Orang-orang itu saling pandang, lalu mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,

“Orang muda, kau menyuruh kami makan, apakah yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah kering, tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke selatan, hanya kami yang tidak punya apa-apa terpaksa tinggal disini.”

“Jadi ada pembesar dan orang kaya disini?”

“Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Yang paling kaya dan paling kikir adalah Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya disini.”

“Kenapa tidak minta makan padanya?”

“Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi. Kami malah diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua.”

“Ada anjing kaki dua?” Tan Hok benar-benar terheran.

Kembali orang-orang itu sallng pandang, agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.

“Orang muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya, malah pembesar di kota-kota yang berdekatan semua melindunginya. Siapa berani terhadapnya?”

“Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita.”

Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.

“Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?” Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.

**** 031 ****





No comments:

Post a Comment