Ads

Monday, August 27, 2018

Raja Pedang Jilid 001

“Lima warna membutakan mata….!” Terdengar suara berat dan parau membaca doa.

“Lima warna membutakan mata…….!” Menyusul suara nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang berusaha keras menirukan nada suara pertama.

“Lima bunyi menulikan telinga………!” Kembali suara anak kecil tadi mengulang kata-kata itu.

Suara ini saling susul dan selengkapnya diucapkan oleh suara parau ditiru suara anak kecil itu ujar-ujar lengkap dari kitab To-tek-keng seperti berikut :

Lima warna membutakan mata,
Lima bunyi menulikan telinga
Lima rasa merusak mulut
Mengejar kesenangan merusak pikiran,
Barang berharga membuat kelakuan menjadi curang
Inilah sebanya orang budiman,
Mengutamakan urusan perut,
Tidak mempedulikan urusan mata,
Ia pandai memilih ini membuang itu,

Kalau suara-suara ini terdengar dari sebuah klenteng Agama To, hal itu tak perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang tosu memberi pelajaran-pelajaran dari kitab To-tek-keng kepada anak muridnya. Atau seorang kepada guru sastra mengajarkan ayat-ayat kitab itu kepada muridnya.

Akan tetapi anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang lebat, hutan yang jarang didatangi manusia dan menjadi sarang dari harimau-harimau, ular-ular besar dan lain binatang buas. Kalau pun ada manusianya tentulah sebangsa manusia perampok.

Apabila kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang mengajarkan ayat-ayat kitab To-tek-keng kepada anak kecil tadi, kita akan merasa heran sekali.

Ternyata bahwa yang membaca ayat-ayat kitab itu adalah seorang tosu berbaju kuning, di pungungnya tergantung sebatang pedang. Tosu ini tinggi kurus berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya digelung ke atas dan ia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah.

Di belakang kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya besar. Anak ini amat miskin pakaiannya sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga agak terpincang pincang jalannya. Akan tetapi, biarpun keadaannya begini miskin, anak itu tampaknya gembira terus. Mulutnya menyinarkan cahaya gembira dan nakal.

Ayat-ayat yang dibacakan oleh Tosu di atas tadi adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, akan tetapi lambat-lambat, sudah lama jugalah anak itu menirunya.

Pada ayat ke duabelas dimana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan perut, anak laki-laki itu setelah selesai meniru ayat ini sampai habis, segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.

“Totiang, benar sekali orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman, mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang lekas-lekas memberi roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain lagi”

Sambil berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan berlari mendampingi dan menarik-narik kaki kanan tosu itu.

Akan tetapi tosu itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.

“Ayat ke tiga belas berbunyi……………”

“Aku tidak peduli apa bunyi ayat ketiga belas atau ke tiga ribu!” Anak itu berteriak. “Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi roti kering dan uang kepadaku!”

Tosu itu nampak tertegun, seakan-akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya menirunya telah mengeluarkan suara lain. Ia menunda membaca kitabnya dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar.

Tadi ia bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu ia sedang beristirahat dan makan roti kering. Lalu datang anak yang dikenalnya ini mendekat, nampaknya ingin sekali akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

“Kau mau roti kering?” Anak itu hanya mengangguk.

“Heh-heh-heh, roti keringku sudah habis di warung sana?” Ia bertanya lagi, Kembali anak itu mengganguk,Tosu itu menjadi gemas juga.

“Gagukah engkau?”

“Tidak, Totiang, hanya sedang malas bicara,”





Jawaban ini membuat si tosu menjadi terheran-heran. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.

“Engkau mau roti kering dan uang?”

Kembali ia bertanya sambil menunggangi lagi kudanya yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.

“Baik, akan tetapi kau harus menirukan membaca isi kitab To-tek-keng sambil berjalan di belakang kudaku.”

Demikianlah, tosu itu mulai membaca kitab itu dari ayat pertama sampai ayat ke dua belas. Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak luar biasa yang pernah membaca kitab-kitab kuno bahkan hampir hafal banyak kitab dari agama budha, yaitu ketika ia bekerja sebagai pelayan dari kelenteng Hok-thian-tong, Akan tetapi setelah mendengar tentang “mengutamakan perut”, sehingga anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.

Siapakah anak yang bersikap aneh dan terlantar itu? Namanya Beng San, Demikian menurut pengakuannya sendiri, tentang siapa nama keturunannya, ia sendiri tidak tahu, Anak ini adalah korban bencana alam, yaitu banjir besar sungai Huang-ho yang menghabiskan seluruh isi kampungnya.

Hampir seluruh kampung habis oleh banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, manusia dan binatang hampir tewas dan hanyut semua. Anak ini pun hanyut akan tetapi agaknya tuhan masih melindunginya maka ia dapat tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam keadaan pingsan.

Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun. Ketika siuman kembali, anak ini telah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai Huang-ho. Ia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa ayah bundanya hanyut terbawa air bah, akan tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan dimana letaknya.

Beng san terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan kelenteng Hok-thian-tong di kota Shan-si, ia amat tertarik melihat kelenteng itu, amat suka melihat-lihat lukisan dan patung-patung yang dipahat indah, kemudian ketua kelenteng, seorang hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah Beng San diterima sebagai seorang kacung atau pelayan.

Para hwesio di kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun mempelajari ayat-ayat suci hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang menjadi pelayan di kelenteng itu selain rajin juga amat cerdas, mereka memberi pelajaran membaca menulis dan demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di “jejali” filsafat-filsafat dan ayat-ayat suci yang amat tinggi. Tentu saja ia hanya menghafal semua inti sarinya.

Jangankan seorang anak kecil seperti dia, menusia dewasa sekalipun kalau mempelajari agama, jarang yang betul-betul dapat, menangkap inti sarinya, apabila mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu.

Setelah berusia sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di kelenteng. Beberapa kali ia minta berhenti akan tetapi semua hwesio melarangnya dan mereka ini hendak menarik Beng San menjdi seorang calon hwesio.

Beng San tidak suka dan pada suatu malam anak ini lari minggat dari kelenteng itu. Ia hidup terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah uang atau makan.

Yang amat aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta! Mungkin ia terpengaruh oleh pelajaran para hwesio yang mengharapkan sedekah dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa Beng San juga sama sekali tidak mau minta ketika melihat tosu itu makan roti kering, padahal perutnya lapar bukan main.

Dan siapa adanya tosu itu? Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu. Dia adalah tokoh dari perkumpulan Agama Ngo-lian To kauw (Agama To Lima Teratai) yang berpusat di Ki-lok.

Sebagai tosu tingkat tiga tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-lian To-kuaw yang mementingkan pelajaran mistik (hoatsut), tentu saja ia terkenal seorang yang amat berbahaya.

Siok Tin Cu bukan mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu tanpa maksud tertentu. Begitu melihat anak tadi, ia dapat menduga bahwa anak ini adalah seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik maka tepat sekali kalau hendak dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekalipun, tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan maka ia takkan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini, mari kita kembali ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi meniru teriakan Siok Tin Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-keng, malah berteriak-teriak menagih janji tosu itu untuk memberi roti kering atau uang pembeli roti kepadanya.

Mereka sudah tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan tubuhnya seringan bulu saja .

“Bocah, sejak kapan kau belum makan?”

Pertanyaan ini diucapkan dengan halus seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.

“Sejak dua hari yang lalu,” jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta dikasihani.

Tosu itu mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali!
”Bagus, bagus, kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa didalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan siulin. Bagus, anak yang baik, nah, kau makanlah ini, hendaklah kulihat sampai dimana kemanjurannya!” Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning dan berbau busuk, “Bukalah mulutmu.”

Tentu saja Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah dan berkata.

“Totiang, kau berjanji hendak memberi roti kering atau uang, kenapa sekarang menyuruh aku makan obat? Aku tidak sakit dan tidak butuh obat!”

“Heh-heh-heh, kalau sudah makan tidak ada artinya lagi, Eh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku atau petunjuk kauwcu (ketua agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengundang hawa thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya, Harus lebih dulu kucobakan orang, kau dengan perutmu kosong baik sekali untuk dijadikan kelinci percobaan! Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau hidup…… nah, akan kuberi hadiah roti kering atau uang, Heh-heh-heh!’

Sepanjang mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan karena marahnya.

“Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, dan siapa tidak memperdulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian kuning?”

Siok Tin Cu mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam agama buddha (dalam kitab Dhammapade), akan tetapi ia segera tertawa.

“Mau tidak mau kau harus menelan obat ini!”

“Tidak sudi……..! Kau tosu bau!”

Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu. Akan tetapi Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan bajunya “meniup” pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak lagi. Yang “mati” ini adalah kedua pasang kaki tangan anak itu, akan tetapi dari leher ke atas masih “hidup” anak itu masih dapat menggerakkan leher dan semua anggauta muka.

“Tosu jahat, tosu bau, kau mau apakan aku?” teriakannya berkali-kali.






No comments:

Post a Comment